Beranda / Opini / Ujian Terakhir Aceh Melawan Kolonialisme Ekonomi Jakarta

Ujian Terakhir Aceh Melawan Kolonialisme Ekonomi Jakarta

Kamis, 20 Februari 2025 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Nazaruddin

Nazaruddin, pemerhati masalah kebijakan dan Dosen Kebijakan Publik di Prodi Admnistrasi Publik, FISIP, Universitas Malikussaleh. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Muzakir Manaf, mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang baru dilantik sebagai Gubernur Aceh, bukan sekadar pemimpin baru. Ia adalah simbol perlawanan Aceh terhadap ketidakadilan struktural yang telah berlangsung puluhan tahun. 

Langkah pertamanya menghapus QR Code subsidi BBM di SPBU Aceh bukan kebijakan teknis semata, melainkan pernyataan politik bahwa Aceh menolak terus diperlakukan sebagai "anak tiri" dalam bingkai NKRI. Ini sebagai momentum kritis untuk menguji sejauh mana kepemimpinan Aceh mampu menegosiasikan hak-hak historisnya di hadapan Jakarta, sambil merefleksikan janji MoU Helsinki yang masih menjadi mimpi buruk yang belum terpenuhi.

Aceh adalah korban dari path dependency kebijakan Jakarta yang menempatkannya sebagai "sapi perah" tanpa kompensasi adil. Sejak 1953, ketika Aceh dipaksa melebur ke Sumatera Timur, hingga eksploitasi Gas Arun di era 1970-an yang tidak merasakan sebagaimana harusnya keuntungan untuk Aceh (padahal kontribusinya 30% untuk devisa negara), ketimpangan ini melahirkan gerakan separatis GAM. 

MoU Helsinki 2005 seharusnya menjadi titik balik dengan memberikan otonomi khusus, tetapi regulatory capture oleh elit politik nasional membuat implementasinya setengah hati. Dana otonomi khusus Aceh (Rp 120 triliun sejak 2008) dikelola tanpa transparansi, dan hanya 20% yang benar-benar menyentuh masyarakat akar rumput. Aceh seperti tawanan dalam rumah sendiri - kaya sumber daya, tetapi miskin akses dan kesejahteraan, sehingga aceh terus menjadi termiskin di Sumatera.

Langkah Muzakir menghapus QR Code di SPBU Aceh patut dilihat melalui lensa public choice theory dan policy failure. Sistem QR Code adalah alat Jakarta untuk mengontrol subsidi, tetapi di Aceh - penghasil migas terbesar ke-3 di Indonesia - kebijakan ini dianggap ironi. Rakyat Aceh dipaksa antre dan "mengemis" BBM subsidi, sementara 70% produksi migasnya dikirim ke Jawa. 

Jakarta mengklaim QR Code mencegah penyelewengan, tetapi tidak pernah transparan soal alokasi kuota BBM untuk Aceh. Data menunjukkan Aceh tidak sampai 4% dari total subsidi nasional, padahal kontribusi migasnya cukup besar. 

Muzakir berani mengambil risiko politik dengan kebijakan ini, tetapi ia harus waspada agar tidak terjebak dalam symbolic policy tanpa solusi struktural. Jika tidak diikuti dengan negosiasi peningkatan kuota BBM atau alokasi DBH migas yang adil, langkah ini hanya akan menjadi drama politik kosong.

MoU Helsinki adalah social contract antara Aceh dan Jakarta, tetapi 19 tahun setelah penandatanganan, sebagian besar pasal krusial masih menjadi ilusi. Hak bagi hasil 70% migas Aceh belum direalisasi. Partisipasi mantan kombatan GAM dalam politik jangan hanya menjadi alat legitimasi Jakarta, tanpa kekuasaan substansial untuk mengubah kebijakan nasional. Muzakir harus menggunakan policy entrepreneurship-nya untuk memaksa Jakarta memenuhi janji, bukan sekadar menjadi "tukang stempel" otonomi semu.

Pemerintah pusat telah gagal memenuhi mandat social equity dan policy coherence. Aceh merupakan salah satu Provinsi penyumbang terbanyak dari hasil migas sejak 1970an sampai saat ini, namun disisi lain penerimaan Aceh relatif kecil, sehingga memperparah ketergantungan ekonomi Aceh terhadap Jakarata, Tragedy of the commons terjadi ketika Jakarta mengeruk sumber daya Aceh tanpa memberi kompensasi adil.

Agar kepemimpinan Muzakir tidak menjadi sekadar nostalgia GAM, ia harus memanfaatkan policy window. Gunakan momentum politik nasional (Pemerintahan Prabowo) untuk menuntut revisi UU PA No. 11/2006 yang selama ini dianggap merugikan bagi Aceh, khususnya pasal tentang bagi hasil migas. Bangun koalisi kritis dengan DPR Aceh dan CSO untuk audit independen terhadap dana otonomi khusus dan tuntut transparansi alokasi BBM.

Muzakir Manaf tidak boleh menjadi Gubernur yang hanya berani "menggertak" di podium, tetapi tunduk dalam meja negosiasi. Sejarah telah membuktikan bahwa kejayaan Aceh di era Sultan Iskandar Muda dibangun bukan dengan kepatuhan buta, tetapi dengan strategic leadership yang berani menolak intervensi asing. 

Jika Muzakir serius membawa Aceh keluar dari kubangan ketidakadilan, ia harus menjadikan QR Code hanya sebagai pembuka - bukan akhir - dari perlawanan kebijakan yang lebih sistematis. Aceh bukan meminta belas kasihan, tetapi menuntut hak sebagai equal partner dalam NKRI.

Pertanyaan kritis: Jika Jakarta tetap bersikap arogan, apakah Muzakir siap mengorbankan popularitas lokalnya untuk membawa Aceh ke meja perundingan ulang ? Atau ia akan menjadi bagian dari lingkaran elit yang mengkhianati amanah sejarah? Path dependency mengingatkan agar Aceh tidak terjebak dalam pola lama: konflik - perdamaian semu - ketidakpuasan - konflik baru. 

Policy feedback menegaskan bahwa kebijakan Muzakir hari ini akan menentukan apakah generasi muda Aceh percaya pada integrasi atau kembali memilih jalan radikal. Keadilan bukan milik Jakarta untuk diberikan, tapi hak Aceh untuk direbut. Aceh bukan meminta belas kasihan, tetapi merebut hak yang dirampas. Kolonialisme ekonomi Jakarta harus berakhir di tangan pemimpin yang berani. [**]

Penulis: Nazaruddin (Pemerhati Masalah Kebijakan dan Dosen Kebijakan Publik di Prodi Admnistrasi Publik, FISIP, Universitas Malikussaleh)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI