DIALEKSIS.COM | Opini - Empat pulau di Aceh Singkil; Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang tengah menjadi saksi bisu dari apa yang disebut sebagai "pengikisan keistimewaan Aceh secara perlahan namun sistematis." Dari konflik senjata ke meja perundingan Helsinki, dari janji otonomi luas ke perdebatan batas wilayah yang kini terasa memalukan: karena bahkan untuk mempertahankan wilayahnya sendiri, Pemerintah Aceh terlihat tidak cukup berdaya.
Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, dalam pernyataannya kepada Dialeksis.com, sudah mengungkapkan bukti konkret: keempat pulau tersebut selama ini masuk dalam dokumen resmi Aceh. Mulai dari Peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) skala 1:25.000, dokumen Kementerian Kelautan dan Perikanan, hingga penetapan kawasan konservasi laut daerah yang seluruhnya mengindikasikan bahwa wilayah itu adalah milik Aceh.
Namun, yang mengejutkan adalah pernyataan terbaru dari Dirjen Bina Adwil Kemendagri, Safrizal ZA. Dalam wawancaranya dengan Tribun Aceh (30 Mei 2025), ia menyatakan bahwa berdasarkan SK Mendagri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022, keempat pulau tersebut telah masuk ke dalam wilayah administratif Sumatera Utara. Pernyataan itu datang seolah tanpa musyawarah sejajar dengan Pemerintah Aceh, apalagi melibatkan masyarakat lokal yang selama ini menggantungkan hidup dari laut dan pulau-pulau tersebut.
Ini bukan hanya soal "kesalahan teknis" atau "perbedaan peta", melainkan refleksi paling gamblang dari bagaimana keistimewaan Aceh secara administratif dikebiri, bahkan nyaris tak disadari oleh masyarakat luas.
Yang membuat persoalan ini lebih pahit adalah sikap Pemerintah Aceh sendiri. Alih-alih berdiri tegas menolak, yang muncul adalah pernyataan-pernyataan normatif seperti “akan dikaji kembali” atau “menunggu klarifikasi pusat.” Ini menunjukkan bahwa struktur pemerintahan Aceh hari ini tidak mencerminkan semangat perjuangan sebagaimana yang dibawa oleh MoU Helsinki 2005.
Penyempitan Wilayah Aceh: Dari 1956 ke Hari Ini
Merujuk pada peta 1 Juli 1956. Dalam peta tersebut, wilayah Aceh digambarkan lebih luas dibandingkan kondisi saat ini. Dari waktu ke waktu, batas administratif Aceh justru semakin menyempit baik di daratan maupun di lautan. Ini adalah proses pelan namun nyata dari pemudaran otoritas Aceh atas wilayahnya sendiri.
Dokumen historis seperti peta 1956 seharusnya menjadi pijakan penataan batas Aceh, walau dalam pentaan batas daerah selama ini mengacu pada Peta Topografi TNI AD 1978, namun dalam penataan batas daerah kepulauan menggunakan mekanisme tersendiri sehingga potensi sengketa sangat tinggi.
Empat pulau itu bukan soal besar atau kecilnya wilayah. Bukan pula sekadar persoalan peta atau koordinat. Mereka adalah simbol dari batas, kedaulatan administratif, dan integritas sejarah Aceh. Menghilangnya pulau-pulau itu dari peta Aceh sama dengan penghapusan jejak geografis yang selama ini menjadi bagian dari identitas dan sumber kehidupan masyarakat pesisir.
Apa yang Harus Dilakukan Aceh Sekarang?
Langkah awal yang sangat penting adalah mengumpulkan semua bukti historis dan yuridis yang kuat. Ini termasuk peta resmi RBI skala 1:25.000, peta Aceh versi 1 Juli 1956, dokumen kawasan konservasi laut, hingga catatan administratif dari Pemkab Aceh Singkil. Selain itu, testimoni masyarakat lokal dan dokumen adat menjadi bukti sosial yang tidak kalah penting. Semua dokumen tersebut perlu dikompilasi menjadi sebuah dossier wilayah yang akan menjadi pijakan kuat dalam forum hukum dan pembicaraan politik.
Selanjutnya, Pemerintah Aceh wajib segera mengajukan keberatan resmi kepada Kemendagri terkait SK Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022 yang menetapkan pulau-pulau tersebut masuk wilayah Sumatera Utara. Surat keberatan ini harus menuntut peninjauan ulang SK serta pembentukan tim verifikasi batas wilayah yang independen dan melibatkan Pemerintah Aceh secara penuh. Jika keberatan ini tidak direspon dengan serius, Aceh berhak membawa persoalan ini ke ranah hukum.
Di ranah hukum, Pemerintah Aceh dapat mengambil langkah lebih lanjut dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau melakukan judicial review ke Mahkamah Agung, terutama jika SK tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan peraturan otonomi khusus lainnya. Proses hukum ini penting sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak wilayah Aceh yang diatur secara konstitusional.
Tidak kalah penting adalah peran Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Mereka harus aktif membentuk Panitia Khusus (Pansus Pulau) untuk mengawal isu ini secara legislatif. Melalui dengar pendapat dengan masyarakat di Aceh Singkil, DPRA bisa memperoleh gambaran riil dan mendorong investigasi lebih dalam guna memperkuat posisi Aceh dalam menghadapi persoalan batas wilayah.
Agar tidak terjadi lagi “hilangnya” wilayah secara administratif, harmonisasi peta menjadi sebuah keharusan. Pemerintah Aceh perlu segera berkoordinasi dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk menyusun peta resmi yang merujuk pada batas wilayah Aceh tahun 1956. Audit geospasial internal juga harus dilakukan bersama instansi teknis dan pemerintah kabupaten terkait agar peta Aceh dapat dijadikan rujukan tunggal dalam semua keputusan terkait wilayah.
Langkah lain yang tak kalah strategis adalah melakukan pemetaan partisipatif berbasis masyarakat pesisir. Melalui penggunaan GPS, foto udara, sejarah lisan, dan dokumen adat, Aceh dapat memperkuat klaim sosial dan budaya atas empat pulau tersebut. Pemetaan ini akan memperlihatkan bahwa pulau-pulau tersebut bukan hanya wilayah administratif, tapi juga bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan tradisi masyarakat Aceh.
Perjuangan mempertahankan batas wilayah Aceh juga harus diperkuat secara politik di tingkat nasional. Gubernur dan Ketua DPRA perlu melobi anggota DPR RI dan DPD RI asal Aceh agar isu ini dibawa ke Komisi II DPR. Mereka juga harus mendorong rapat dengar pendapat dengan Kemendagri sebagai upaya memperoleh dukungan dan solusi dari pemerintah pusat.
Agar masalah ini tidak tenggelam kembali, kampanye media dan mobilisasi sipil sangat dibutuhkan. Koalisi masyarakat sipil, akademisi, dan media lokal harus bekerja sama menyuarakan isu ini secara luas, mempublikasikan data historis, dan visualisasi perubahan batas wilayah Aceh dari 1956 hingga kini. Edukasi kepada masyarakat umum penting agar mereka memahami bahwa persoalan ini bukan sekadar soal peta, melainkan tentang harga diri dan identitas Aceh.
Akhirnya, persoalan ini harus menjadi momentum untuk mengevaluasi ulang implementasi otonomi khusus Aceh. Bila dalam mempertahankan wilayahnya sendiri pun Aceh terlihat tak berdaya, maka layak untuk bertanya apakah otonomi khusus yang diberikan selama ini benar-benar bermakna atau hanya simbol kosong semata.
Penulis: Wildan Sastra, adalah Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kota Subulussalam