Minggu, 23 Maret 2025
Beranda / Opini / Waliyul ‘ahdi dan Gubernur Aceh: Mualem

Waliyul ‘ahdi dan Gubernur Aceh: Mualem

Jum`at, 21 Maret 2025 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Muhammad Ridwansyah

Muhammad Ridwansyah, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Salah satu frasa norma hukum dalam ketentuan peralihan dalam Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Wali Nanggroe menerangkan bahwa Waliyul’ahdi pada masa Wali Nanggroe VIII Dr. Teungku Hasan Muhammad di Tiro adalah Teungku Malik Mahmud Al-Haytar. Kemudian sejak berpulang ke rahmatullah Wali Nanggroe Dr. Teungku Hasan Muhammad di Tiro maka Waliyul’ahdi Tengku Malik Mahmud Al-Haytar ditetapkan sebagai Wali Nanggroe IX. 

Empat Qanun Wali Nanggroe dalam perubahan diketentuan peralihan tetap menggunakan frasa waliyul’ahdi. Bahkan dalam dua Qanun Wali Nanggroe seperti Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2019 tentang Lembaga Wali Nanggroe dan Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2023 Wali Nanggroe IX dapat menunjuk Waliyul’ahdi sebagai pemangku Wali Nanggroe X.

Lalu yang menjadi pertanyaanya adalah apa makna waliyul’ahdi dan bagaimana konseptual waliyul’ahdi dalam hukum tata negara khusus kajian Aceh?

Waliyul’ahdi secara detail diatur melalui Reusam Wali Nanggroe Nomor 1 Tahun 2020 tentang Waliyul’ahdi menjelaskan bahwa Waliyul’ahdi adalah pemangku Wali Nanggroe atau orang yang merupakan perangkat kerja Lembaga Wali Nanggroe yang melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangan Wali Nanggroe, apabila Wali Nanggroe tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap dan melaksanakan tugas-tugas lain yang didelegasikan oleh Wali Nanggroe.

Waliyul’ahdi dalam sistem kerajaan diartikan sebagai putra mahkota Wali Nanggroe, sebagai pengganti Wali Nanggroe atau calon pewaris tahta pada suatu monarki konstitusional. Waliyul’ahdi juga secara literatur adalah pangeran pemangku raja diartikan sebagai seorang pangeran yang memerintah sebuah monarki sebagai pemangku raja menggantikan penguasa monarki karena ketidakmampuan fisik sewaktu-waktu atau mangkat. Meskipun secara teoritis jabatan pemangku bisa merujuk secara generik atau secara peraturan perundang-undangan yang dianggap berlaku disebuah wilayah kerajaan atau wilayah negeri (nanggroe).

Konteks Waliyul’ahdi di Aceh sebenarnya sudah merujuk pada Texs of the Regency Act 1937, Text of the Regency Act 1943, Text of the Regency Act 1953 yang mengatur secara spesifik kekuasaan pemangku Raja. Tugas utama kepada pemangku raja dan diberikan secara spesifik tugas pokok raja, seperti mendirikan Kantor Perwakilan Kerajaan, mewakili sang raja ketika berhalangan, bertindak atas perantara penguasa saat sementara sedang tidak ada di kerajaan. Waliyul’ahdi dimaknai sebagai suksesor Wali Nanggroe, Putra Mahkota Wali Nanggroe diharapkan akan menjadi pengganti Wali Nanggroe dikemudian hari.

Tugas Waliyul’ahdi antara lain: Pertama, membantu melaksanakan tugas Wali Nanggroe. Kedua, mengkoordinasikan perangkat kerja lembaga Wali Nanggroe. Ketiga, memberikan pertimbangan dalam hal pembentukan perangkat Lembaga Wali Nanggroe dengan segala upacara adat dan gelarnya. 

Keempat, memberikan pertimbangan dalam hal pemberian atau pencabutan gelar kehormatan dan anugerah kepada seseorang atau lembaga. Kelima, menyiapkan bahan kebijakan dalam hal pengelolaan dan perlindungan khazanah Aceh di dalam dan luar Aceh. Keenam. menyiapkan bahan kebijakan dalam hal melakukan kerjasama dengan berbagai pihak untuk kemajuan peradaban Aceh sesuai ketentuan perundang-undangan. 

Ketujuh, memberikan pertimbangan dalam hal penetapan kebijakan pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas dengan tetap melestarikan dan mengembangkan budaya dan adat istiadat Aceh. Kedelapan, menyiapkan bahan kebijakan dalam hal menjaga perdamaian Aceh. Kesembilan, memberikan pertimbangan dalam hal menentukan hari-hari libur yang diikuti dengan upacara-upacara adat berdasarkan tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh. 

Kesepuluh, memberikan pertimbangan pertimbangan dalam hal pengangkatan atau pemberhentian perwakilan adat dan budaya Aceh. Kesebelas, mendampingi Wali Nanggroe dalam menjalankan tugas-tugas adat. Keduabelas, melaksanakan tugas lainnya yang diberikan oleh Wali Nanggroe.

Jabatan Waliyul’ahdi sekarang diamanatkan kepada Teungku H. Muzakir Manaf, jabatan ini ditunjuk oleh Wali Nanggroe PYM Teungku Malik Mahmud Al-Haytar selaku Wali Nanggroe IX. Hal ini tercantum dalam Pasal 102 ayat (6) Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2023 Wali Nanggroe IX dapat menunjuk Waliyul’ahdi sebagai pemangku Wali Nanggroe X. Penunjukan pemangku Wali Nanggroe dalam teori monarki lebih kepada hubungan biologis dari ayah ke anak sebagai putra mahkota, namun dalam konteks Qanun Aceh No. 2 Tahun 2023 penunjukan oleh Wali Nanggroe sebenarnya lebih kepada konsep hubungan ideologis antara pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) karena secara hirarki Perdana Menteri GAM Malik Mahmud Al-Haytar dan Teungku Muzakir Manaf selaku Panglima GAM. 

Namun teori umum menerangkan bahwa kepala pemerintahan bisa saja menunjuk pembantu kabinetnya untuk mengisi jabatan strategis sebagai bagian dari hak proregatif presiden. Dua konteks jabatan di atas tentu berbeda, Wali Nanggroe selaku Kepala Nanggroe Aceh sedangkan Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, akan tetapi Menteri tidak ada jabatan pemangku sedangkan Waliyul’ahdi terdapat jabatan pemangku. 

Lalu yang menjadi landasan basis filosofis pemikiran jabatan waliyul’ahdi sebenarnya adalah konteks kerajaan adalah sebagai regen adalah pihak yang ditunjuk untuk mengelola nanggroe untuk sementara karena nanggroe yang resmi dengan sebab-sebab tertentu tidak dapat memegang kendali nanggroe sebagaimana mestinya atau karena tahta penguasa lowong atau memang sang raja sudah sepuh atau raja yang paripurna. Waliyul’ahdi dilantik oleh Wali Nanggroe dan dikukuhkan oleh PYM Teungku Malik Mahmud dan disumpah jabatan sebagai Pemangku Wali Nanggroe X.

Sisi lain, Teungku H. Muzakir Manaf (Mualem) juga terpilih secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur, dan adil dalam perhelatan Pilkada Aceh 2024 lalu. Mualem dinyatakan menang pemilu unggul perolehan suara 1.427.372 suara atau setara dengan 53,27 persen. Mayoritas rakyat Aceh memilih Mualem menang, dan dilantik pada tanggal 12 Februari 2025 oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian atas nama Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto. Sumpah Mualem sebagai Gubernur Aceh menyatakan “Demi Allah saya bersumpah, akan memenuhi kewajiban saya sebagai Gubernur Aceh dengan sebaik-baiknya, dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD 1945 serta menjalankan segala peraturan dan perundang-undangan dengan penuh tanggung jawab untuk berbakti kepada masyarakat, bangsa, dan negaraâ€. Jabatan Gubernur Aceh ini diperoleh secara election vote, one by one rakyat Aceh memilih kandidat Gubernurnya.

Gubernur bertugas dan berwenang antara lain: Pertama, memimpin penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Gubernur dan DPRA. Kedua, mengajukan rancangan qanun. Ketiga, menetapkan qanun yang telah mendapat persetujuan Gubernur dan DPRA. 

Keempat, menyusun dan mengajukan rancangan qanun tentang APBA kepada DPRA untuk dibahas, disetujui dan ditetapkan bersama. Kelima, melaksanakan dan mengoordinasikan pelaksanaan syari’at Islam secara menyeluruh. Keenam, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban mengenai penyelenggaraan pemerintahan kepada DPRA. Ketujuh, memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan Aceh kepada Pemerintah. 

Kedelapan, menyampaikan informasi penyelenggaraan pemerintahan Aceh kepada masyarakat. Kesembilan, mengupayakan terlaksananya kewenangan pemerintahan. Kesepuluh, mewakili di daerahnya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menguasakan kepad apihak lain sebagai kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kesebelas, melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dua jabatan di atas baik Waliyul’ahdi dan Gubernur Aceh sangat strategis dan kedua jabatan itu ada pada sosok Mualem. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ada larangan dua jabatan itu pada sosok Mualem?

Penulis menelaah, sama sekali tidak ada larangan karena dua jabatan itu baik Waliyul’ahdi ditunjuk dan dilantik oleh Wali Nanggroe sedangkan Gubernur Aceh, dipilih dan dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia. Bisa saja, Gubernur Aceh secara ex officio sebagai Waliyul’ahdi tetapi itu riskan karena memang Waliyul’ahdi adalah pilihan Wali Nanggroe. Wali Nanggroe yang paham secara utuh siapa yang akan menjadi pemangku Wali Nanggroe X. Mualem sangat layak untuk dua jabatan itu karena Mualem adalah primus inter pares yakni sederajat atau yang pertama di antara yang setara. [**]

Penulis: Muhammad Ridwansyah (Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
dishub