Haji Uma Surati Polda dan MPU Terkait Kasus Selebgram Mira Ulfa
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia asal Aceh, H. Sudirman atau yang lebih dikenal dengan Haji Uma. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Nama Mira Ulfa, seorang selebgram asal Aceh, mendadak menjadi sorotan publik di berbagai platform media sosial setelah aksi kontroversialnya viral.
Dalam sebuah siaran langsung, Mira terekam melantunkan ayat suci Al-Qur'an sambil memadukannya dengan musik disjoki (DJ) berirama "jedag-jedug." Aksi tersebut tidak hanya menuai kritik pedas di Aceh, tetapi juga menyulut kecaman dari masyarakat di luar Aceh yang menganggapnya sebagai tindakan penistaan agama.
Menanggapi kasus tersebut, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia asal Aceh, H. Sudirman atau yang lebih dikenal dengan Haji Uma, mengambil langkah tegas.
Haji Uma mengungkapkan bahwa ia telah mengirim surat resmi kepada Polda Aceh dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh untuk segera menindaklanjuti kasus ini.
“Ini adalah tindakan yang mencoreng nama Aceh sebagai daerah bersyariat Islam. Apa yang dilakukan selebgram tersebut tidak hanya melukai hati masyarakat Aceh, tetapi juga menjurus pada penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156a KUHP. Kasus ini harus diusut tuntas, dan pelaku perlu diproses secara hukum,” tegas Haji Uma dalam keterangan kepada Dialeksis.com, Kamis (16/1/2025).
Ia menambahkan, meski Mira Ulfa telah meminta maaf atas tindakannya, proses hukum tetap harus berjalan demi memberikan efek jera dan menjadi pelajaran bagi masyarakat luas.
Haji Uma juga menegaskan bahwa kasus ini bersifat delik umum, yang artinya dapat ditindak tanpa adanya laporan langsung dari pihak tertentu.
Haji Uma juga menyoroti pentingnya edukasi dalam penggunaan media sosial, terutama bagi generasi muda.
Ia mengimbau agar masyarakat lebih bijak dalam memanfaatkan platform digital dan tidak menggunakan media sosial untuk hal-hal yang dapat merusak nilai-nilai keislaman dan budaya Aceh.
“Media sosial adalah pedang bermata dua. Kita harus cerdas memanfaatkannya untuk hal-hal yang positif. Jangan sampai kebebasan ini justru mendegradasi nilai-nilai yang kita junjung tinggi sebagai masyarakat Aceh,” pungkasnya. [nh]