Ketua DPRA Dukung Larangan Kaum Hawa Ngopi Bareng Semeja dengan Nonmuhrim
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Bireun - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Tgk. Muharuddin mendukung kebijakan yang dilakukan Bupati Bireuen yang menerbitkan imbauan larangan bagi kaum hawa duduk semeja di warung kopi atau cafe dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Tgk. Muharuddin menilai, larangan itu sangat baik dalam penegakan syariat Islam di Aceh.
"Saya kira itu satu keputusan yang sangat bagus, mengingat konteks Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam. Artinya, beliau sebagai umara, ketika melihat kehidupan sehari-hari di Bireuen, di mana ada terjadinya penyimpangan, maka beliau memutuskan menerbitkan imbuan kepada masyarakat, agar tidak terjadi maksiat di cafe tersebut," kata Ketua DPRA Tgk. Muharuddin, Rabu (12/9/2018), usai menghadiri acara zikir dan doa bersama memperingati 1 Muharram 1440 Hijriah di Masjid Raja Jeumpa, Bireuen.
Namun, kata Tgk. Muharuddin, jika persoalan itu dibesar-besarkan menurutnya suatu hal yang keliru. Bupati Bireuen, kata Tgk. Muhar, sebagai pemimpin daerah telah selesai urusannya dengan Allah SWT karena telah mengingatkan, untuk mengantisipasi terjadinya maksiat.
"Bila masyarakat tidak mengindahkan, maka hal itu kita kembalikan kepada masyarakat. Aceh adalah daerah syariat Islam, maka dari itu saya atas nama DPR Aceh mendukung seruan yang disampaikan bupati Bireuen," ujarnya.
Kepada masyarakat, Tgk. Muharuddin berharap agar persoalan itu tidak dibesar-besarkan dan semua pihak harus menghormati bahwa Aceh merupakan daerah syariat Islam.
Sementara itu desakan larangan itu juga diberlakukan di seluruh Aceh, Tgk Muharuddin mengatakan hal itu dikembalikan kepada para kepala daerah di kabupaten/kota lainnya.
"Kalau dianggap ini suatu yang dianggap menyimpang dan mengganggu, maka diharapkan para kepala daerah lainnya juga dapat ikut menerapkan larangan yang sama. Yang perlu diketahui adalah, seruan inin bukan melarang wanita minum kopi, tetapi tidak boleh para kaum hawa ngopi dengan yang bukan muhrimya. Kalau sama-sama wanita atau satu keluarga ngopi dengan muhrimnya ya tidak masalah," tegas politisi Parta Aceh ini. "Jadi ini jangan dipolitisir, seolah-olah pak bupati melarang wanita minum kopi," tambahnya.
Sementara itu mengenai larangan dari provinsi, Tgk. Muhar mengatakan hal itu nantinya akan dikaji kembali melalui komisi terkait bersama dengan Dinas Syariat Islam dan MPU Aceh.
"Jika hal itu menurut para ulama dan dinas terkait perlu diterapkan seluruh Aceh, maka seruannya akan diberlakukan juga untuk Aceh menyeluruh seperti di Bireuen," ungkapnya.
Sementara itu Bupati Bireuen Saifannur mengatakan larangan kaum hawa ngopi semeja dengan nonmuhrim hanya sebatas imbauan, tidak ada sanksi terkait yang melanggar seruan tersebut.
"Saya sebagai kepala daerah bertanggungjawab kepada masyarakat dan kepada Allah. Untuk itu saya mengimbau agar para wanita tidak duduk semeja di warung kopi atau cafe dengan yang bukan muhrimnya. Ini imbauan, bukan sudah diqanunkan. Apakah salah kita mengajak orang untuk menjalankan Islam secara kaffah?," ungkapnya.
"Apakah indah jika para orang tua mencari anaknya malam-malam ternyata masih duduk di warung kopi dengan yang bukan muhrimnya, apalagi di tempat yang remang-remang," tambahnya.
Sementara itu terkait apakah ke depan akan diupayakan sanksi dan penetapan secara qanun bagi yang melanggar, Saifannur mengatakan Pemkab Bireuen akan melihat nantinya perkembangan dari seruan larangan tersebut.
"Kita akan lihat dulu masyarakat patuh atau tidak. Jika nantinya tidak diindahkan dan harus diqanunkan, maka akan kita buat qanun," imbuhnya.
Liburkan Hari Tasyrik
Selain persoalan larangan kaum hawa ngopi semeja dengan nonmuhrim, Tgk. Muharuddin mengatakan dirinya juga akan membahas dengan Pemerintah Aceh dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh terkait penetapan libur pada hari tasyrik, yaitu pada 11,12, 13 Djulhijjah.
"Pada hari raya Idul Adha itu ada hari tasyrik. Hari ini kita belum membuat aturan mengenai hal ini, di mana pada hari tasyrik, anak-anak sekolah tidak libur dan tetap sekolah. Mengapa tidak Aceh yang memiliki kekhususan, menetapkan hari tasyrik bisa diliburkan. Ini saran saya dan akan saya sampaikan kepada pak gubernur, dengan harapan nantinya hal ini bisa diqanunkan atau qanun yang sudah ada direvisi, di mana pada tahun ajaran baru, anak-anak sekolah pada hari tasyrik itu libur," ujarnya. (REL)