Upaya Legalkan Poligami, Cara DPRA ‘Selamatkan Perempuan’
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menetapkan 15 judul rancangan qanun (raqan) Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2019, pada 27 Desember 2018 lalu. Salah satunya Raqan Hukum Keluarga.
Peraturan poligami merupakan salah satu bab dari pembahasan Rancangan Qanun Hukum Keluarga. Juli lalu, isu pembahasan poligami ini heboh secara nasional, tentu saja menuai pro-kontra.
Namun DPRA punya dasar. Wakil rakyat Aceh ini menyatakan upaya melegalkan poligami di Aceh untuk menyelamatkan perempuan dan anak yang selama ini menjadi korban pernikahan siri.
Sebab menurut DPRA, selama poligami tidak dilegalkan, perempuan akan tetap menjadi korban lelaki yang menikah siri. Paktik nikah yang dilarang dalam Islam ini tidak pernah memberikan kejelasan, terutama bagi pihak perempuan, karena tidak tercatat oleh negara.
"Kami mau kasih tahu kepada perempuan-perempuan siri itu, Anda akan menjadi korban kalau (pernikahan) ini tidak tercatat. Bagaimana nanti masalah ahli waris, harta gono-gini," kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Aceh, Musannif, kepada media, 6 Juli lalu.
Nikah siri menurutnya sudah berjalan di tengah masyarakat, baik di Aceh maupun di daerah lain, meskipun poligami belum dilegalkan. Nah, daripada nikah siri terus dilakukan, lebih baik dibuat aturan yang jelas terkait poligami.
Dia menekankan, "Kadang isu (poligami) ini liar dan seakan ini mau ambil enaknya saja orang laki, padahal kami mau menyelamatkan perempuan dan anak dari pernikahan siri yang terjadi selama ini."
Adapun kata Musannif, Raqan Hukum Keluarga penting dibahas karena DPRA khusunya di Komisi VII meyakini, untuk membangun bangsa yang lebih baik harus dimulai dari tingkat keluarga.
Apalagi di Aceh, berdasarkan data Mahkamah Syariah, dalam beberapa tahun terakhir ini angka perceraian di Aceh lebih tinggi dari angka nasional.
"Qanun Hukum Keluarga ini sangat perlu dibahas karena untuk menyelamatkan hak istri dan anak di Aceh secara hukum. Sebab poligami diatur tidaknya dalam qanun orang tetap saja menikah siri sejak dulu, sehingga banyak istri dan anak yang kemudian tidak diakui dari pernikahan siri sehingga tidak mendapatkan hak dan tanggung jawab," katanya.
Secara nasional, hukum poligami memang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Namun, DPRA melihat masih ada kebuntuan dan ruang yang dianggap penting untuk diatur di Aceh yang punya kewenangan sendiri perihal tersebut, dengan status otonomi khusus melalui produk hukum UUPA.
Karena itu, DPRA mengharapkan masyarakat tidak hanya memandang terkait bab berisi poligami saja. Karena Raqan Hukum Keluarga juga membahas tentang perkawinan, perceraian, perwalian, dan masalah keluarga lainnya.
Pun, Raqan Hukum Keluarga yang sedang dibahas DPRA, kata Musannif, belum tentu disahkan karena masih banyak yang harus disempurnakan dan kajian dengan melibatkan berbagai pihak.
"Qanun Hukum Keluarga itu belum tentu disahkan karena masih dalam pembahasan. Nanti ada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), kita undang semua dan terbuka untuk umum untuk memberikan masukan dan kritikan. Kalau memang tidak bermaat untuk banyak orang akan kita batalkan saja," ujarnya.
Diakui Musannif, masih banyak pro dan kontra terkait isu poligami. Termasuk banyak orang berkomentar di media sosial yang mengatakan poligami hanya keinginan para petinggi yang memiliki jabatan dan harta.
"Ini contoh seperti larangan narkoba, tapi masih banyak yang menggunakan. Sama juga dengan kalau kita melarang poligami, tapi pada kenyataanya banyak pula yang melakukan pernikahan siri," jelas politisi PPP itu.
Untuk diketahui, pembahasan Rancangan Qanun Hukum Keluarga dijadwalkan akan dimulai pada awal Agustus 2019 di Gedung DPRA, di Banda Aceh.(me/dbs)