DIALEKSIS.COM | Meulaboh - Data terbaru menunjukkan 1.106 anak di Kabupaten Aceh Barat terpaksa putus sekolah. Angka itu menempatkan daerah tersebut dalam situasi darurat pendidikan. Kondisi kian mengkhawatirkan karena terdapat sepuluh sekolah negeri yang aktif secara administrasi, namun tanpa satu pun siswa di dalamnya.
Bupati Aceh Barat, Tarmizi SP, MM, tak menampik temuan itu. Ia menyebut persoalan pendidikan sebagai pekerjaan rumah paling berat dalam pemerintahannya.
“Ini PR besar. Karena itu, saya fokus pada tiga hal utama yaitu pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja. Tiga bidang ini saling terkait dan menjadi kunci untuk memperbaiki masa depan Aceh Barat,” ujar Tarmizi kepada wartawan Dialeksis, Selasa, 16 September 2025.
Sejumlah faktor dituding memperparah persoalan putus sekolah di Aceh Barat. Distribusi guru yang tidak merata, lemahnya kapasitas pendidik, hingga lingkungan sosial yang kurang mendukung menjadi penyebab utama. Di sisi lain, rendahnya kesadaran sebagian orang tua terhadap pentingnya pendidikan memperburuk keadaan.
Tarmizi menegaskan bahwa pemerintahannya tidak akan berhenti pada pengakuan masalah, melainkan segera merumuskan langkah konkret.
“Kami tidak boleh membiarkan anak-anak kehilangan hak dasarnya hanya karena alasan biaya, jarak, atau fasilitas. Generasi kita harus diselamatkan,” katanya.
Bupati Aceh Barat merinci beberapa strategi yang akan dijalankan. Pertama, memperkuat program jemput bola pendidikan dengan menyisir anak-anak yang berisiko putus sekolah. Pemerintah desa, tokoh masyarakat, hingga tenaga pendidik akan dilibatkan untuk memastikan tidak ada anak yang terlewat.
Kedua, meningkatkan kualitas dan pemerataan guru. Tarmizi menyebut Pemkab tengah menyusun program pelatihan intensif, terutama bagi guru yang ditempatkan di wilayah terpencil. “Kompetensi guru adalah ujung tombak. Tanpa guru yang baik, sekolah hanya jadi gedung kosong,” ucapnya.
Selain itu, Pemkab berencana memperkuat fasilitas belajar, mulai dari perpustakaan, akses internet, hingga penyediaan modul cetak untuk daerah yang sulit dijangkau.
Menurut Tarmizi, pendidikan tak bisa dilepaskan dari kesehatan dan ketersediaan lapangan kerja. Anak-anak yang sakit atau bergizi buruk cenderung sulit bertahan di sekolah. Karena itu, ia memprioritaskan layanan kesehatan sekolah, pemeriksaan gizi, dan penguatan posyandu.
Sementara di sisi ekonomi, Pemkab berupaya membuka peluang usaha dan lapangan kerja baru, terutama bagi keluarga dengan anak usia sekolah. “Kalau orang tua punya penghasilan yang stabil, mereka lebih mampu memastikan anaknya tetap belajar. Itulah mengapa pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja harus dikerjakan bersama-sama,” ujar Tarmizi.
Bupati Aceh Barat menegaskan komitmennya untuk menurunkan angka putus sekolah secara signifikan dalam periode pemerintahannya. Ia menyerukan kolaborasi semua pihak, termasuk masyarakat, tokoh agama, dan lembaga swadaya.
“Pendidikan bukan hanya tugas pemerintah, melainkan tanggung jawab kolektif. Saya ingin semua pihak merasa memiliki, karena masa depan Aceh Barat ada di tangan anak-anak kita. Jangan biarkan ada satu pun yang tertinggal,” katanya.
Harapan Tarmizi bupati progresif ini ke depannnya pendidikan Aceh Barat semakin baik dan memberikan dampak nyata kepada generasi muda. Selama ini, pendidikan sering dipandang sebagai sektor pelengkap, bukan prioritas utama. Dengan menempatkan pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja sebagai poros pembangunan, Pemkab Aceh Barat berupaya membangun ekosistem yang lebih menyeluruh.
Namun, tantangan tetap besar. Data 1.106 anak putus sekolah adalah alarm keras yang menuntut kerja cepat, konsisten, dan transparan. Publik akan menunggu apakah janji solusi ini akan benar-benar menjelma menjadi perubahan nyata di lapangan.