DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Gagasan Fraksi Partai Golkar di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang mengusulkan alokasi 1 persen Dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk kepentingan riset daerah mendapat respons positif dari kalangan akademisi. Dr. Muammar Khaddafi, SE, M.Si., Ak., CA., CMA., CIBA, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Malikussaleh, menilai usulan tersebut sebagai langkah strategis untuk mempercepat pembangunan berbasis data dan inovasi.
Menurut Muammar, riset merupakan pondasi dalam merumuskan kebijakan yang tepat dan efektif, terutama dalam konteks pembangunan daerah. Namun, ia mengingatkan bahwa upaya ini tidak cukup hanya dengan mengalokasikan dana, tetapi juga membutuhkan kelembagaan yang kuat dan profesional.
“Saya sangat mendukung gagasan Fraksi Golkar Aceh terkait alokasi 1 persen dana Otsus untuk riset. Namun agar dana tersebut berdampak nyata, perlu dibentuk dan diperkuat Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA), baik di tingkat Provinsi Aceh maupun di seluruh kabupaten dan kota,” ujar Muammar kepada Dialeksis saat dihubungi, Selasa (5/8/2025).
Muammar menjelaskan bahwa keberadaan BRIDA menjadi krusial sebagai institusi penggerak riset daerah. Melalui badan ini, pengelolaan riset dapat dilakukan secara lebih sistematis, terintegrasi, dan akuntabel.
“Selama ini, banyak kebijakan yang tidak berbasis data, atau bahkan salah sasaran karena minimnya kajian mendalam. Riset yang baik akan menghindarkan pemerintah dari trial and error dalam pengambilan keputusan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya menjadikan riset sebagai tulang punggung perencanaan pembangunan daerah, bukan sekadar pelengkap. Untuk itu, sinergi antara BRIDA dengan perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan sektor swasta perlu ditumbuhkan.
“Bila BRIDA berjalan optimal, maka riset akan menjangkau berbagai sektor strategis seperti pertanian, perikanan, energi, pariwisata, hingga tata kelola pemerintahan. Hasil-hasil riset inilah yang nantinya bisa menjadi dasar penyusunan kebijakan pembangunan yang tepat sasaran,” jelas Muammar.
Lebih lanjut, ia mengusulkan agar ke depan, Pemerintah Aceh dapat membuat skema insentif riset daerah berbasis kompetisi. Skema ini mendorong inovasi dan kolaborasi antarpeneliti dari berbagai kalangan, tidak terbatas dari kampus saja.
“Kalau dana riset ini dibuka dalam bentuk kompetisi atau hibah terbuka, saya yakin akan lahir banyak solusi inovatif dari anak-anak muda Aceh, dosen, peneliti, maupun praktisi. Ini akan mempercepat transformasi daerah kita,” katanya.
Muammar menekankan bahwa untuk mengelola dana riset secara efektif, BRIDA perlu diisi oleh SDM yang kompeten dan memiliki integritas tinggi. Kelembagaan ini harus bebas dari intervensi politik serta diarahkan untuk melayani kepentingan publik secara objektif.
“BRIDA yang profesional bisa menjadi ‘otak’ pembangunan Aceh. Tapi tanpa SDM yang mumpuni dan sistem yang transparan, dana riset hanya akan jadi proyek seremonial belaka,” pungkasnya.
Sebelumnya, Fraksi Partai Golkar dalam sidang paripurna penyampaian pendapat akhir terhadap Rancangan Qanun Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBA 2024 mendesak Pemerintah Aceh mengalokasikan minimal 1 persen dari Dana Otsus untuk kebutuhan riset dan inovasi. Usulan tersebut dipandang sebagai bentuk komitmen memperkuat fondasi pembangunan jangka panjang berbasis ilmu pengetahuan.