DPRA Enggan Teken APBA 2024, Ahli Akuntansi: Gubernur bisa Lapor Mendagri
Font: Ukuran: - +
Reporter : Biyu
Ahli keuangan daerah Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala Dr. Syukriy Abdullah, SE, M.Si, Ak. Foto: Dialeksis.com
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Polemik Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2024 antara Pemerintah Aceh dengan Dewan Perwakilan Daerah Aceh (DPRA) ternyata belum berakhir, meski sebelumnya sudah ada hasil evaluasi dari Kemendagri. Muhammad MTA juga telah menyebutkan bahwa pada tanggal 15 Januari 2024 hasil evaluasi Kemendagri sudah diterima oleh Pemerintah Aceh.
Sampai saat ini, hasil evaluasi Mendagri secara konkrit belum ditindaklanjuti oleh Pemerintah Aceh, meski pun telah didiskusikan. Faktanya, sampai saat ini, hasil pembahasan TAPA dengan DPRA terhadap evaluasi Kemendagri tersebut belum disampaikan Kembali dokumennya kepada DPRA.
Terkait polemik APBA TA 2024 ini, ahli keuangan daerah dari Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Syiah Kuala Dr. Syukriy Abdullah, SE, M.Si, Ak. mengungkapkan keprihatinannya. Menurutnya, perlu dilakukan beberapa hal untuk membuat penetapan APBA bisa lebih efektif dan tidak menimbulkan prasangka buruk, terutama kepada DPRA sebagai wakil rakyat di pemerintahan.
Pertama, menyepakati esensi POKIR. POKIR adalah hak anggota DPRA yang harus diakomodir dalam APBA, disesuaikan dengan prioritas pembangunan dalam RKPA. Besaran POKIR menjadi persoalan karena sering tidak sejalan dengan prioritas, namun bukan menjadi masalah jika sudah mengikuti RKPA.
Kedua, dalam UU Pemerintahan Aceh disebutkan bahwa penggunaan dana Otsus untuk proyek harus dibicarakan dengan DPRA. Diskusi ini sepertinya tidak berjalan dengan baik karena TAPA menentukan besaran POKIR yang dibiayai dari dana Otsus secara sepihak.
Ketiga, rasionalisasi yang direkomendasikan oleh Kemendagri seharusnya disusun dan disampaikan oleh TAPA kepada DPRA, sesuai dengan yang sudah dibahas dengan DPRA. Sampai saat ini, hasil rasionalisasi tersebut belum diterima oleh DPRA.
Keempat, perlunya dirasionalisasi tunjangan-tunjangan pejabat Aceh terkait dengan penurunanjumlah dana Otsus sebesar 50 persen yang terjadi sejak tahun 2023. Jika besaran POKIR DPRA berkurang karena penurunan dana Otsus, seharusnya tunjangan pejabat daerah juga dirasionalkan.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terlambatnya penetapan APBA TA 2024 dengan Qanun Aceh bukan semata-mata karena kesalahan di DPRA. TAPA sangat terlambat dalam menindaklanjuti rekomendasi dari Kemendagri, yang sudah dengan tegas menyatakan tidak menyetujui penetapan APBA dengan Peraturan Gubernur Aceh.
Menurut Syukriy Abdullah, keinginan Pemerintah Aceh untuk mem-Pergub-kan APBA seharusnya dihilangkan. Meskipun sebagian anggota DPRA tidak terpilih lagi dalam Pemilu tahun 2024 ini, hak terhadap POKIR tetap ada pada anggota DPRA. Jangan sampai pengelolaan POKIR menjadi masalah yang merembet ke persoalan lain yang harus dibahas antara Gubernur Aceh.
Ia juga menyoroti konsekuensi terlambatnya penetapan Qanun tentang tentang APBA, yang dapat berdampak pada pembayaran tunjangan anggota DPRA selama 3 atau 6 bulan sesuai aturan. Sampai saat ini, tunjangan tersebut delum dibayarkan. Yang jadi pertanyaan, apakah tunjangan pejabat daerah tetap dibayarkan?