Minggu, 18 Mei 2025
Beranda / Pemerintahan / Gonta-Ganti Kurikulum: Malapetaka Pendidikan Indonesia

Gonta-Ganti Kurikulum: Malapetaka Pendidikan Indonesia

Minggu, 18 Mei 2025 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Dr. Iswadi, M.Pd, Dosen Universitas Esa Unggul. Foto: for Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Dunia pendidikan Indonesia dinilai terus menjadi “ladang percobaan” akibat ketidakstabilan kebijakan kurikulum. Dalam dua dekade terakhir, lebih dari tiga perubahan besar kurikulum terjadi, mulai dari Kurikulum 2006 (KTSP), Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka. 

Fenomena ini, menurut Dr. Iswadi, M.Pd, Dosen Universitas Esa Unggul, justru menciptakan kebingungan massal dan mengorbankan kualitas pembelajaran.

“Gonta-ganti kurikulum seperti badai yang datang tanpa persiapan. Ini bukan hanya merusak ritme belajar, tapi juga mencerminkan inkonsistensi kebijakan pendidikan kita,” tegas Dr. Iswadi saat dihubungi Dialeksis (Minggu, 18/05/2025). 

Ia menyoroti bahwa perubahan kurikulum sering kali didorong oleh kepentingan politik dan proyek jangka pendek, bukan kebutuhan mendasar peserta didik.

Menurut Dr. Iswadi, guru menjadi pihak paling terdampak. “Mereka dipaksa beradaptasi dengan sistem baru tanpa pelatihan memadai. Alih-alih fokus mengajar, energi habis untuk urusan administratif dan pemahaman kurikulum yang tak pernah tuntas,” ujarnya. Akibatnya, banyak guru mengambil jalan pragmatis: mengajar sekadar memenuhi tuntutan formal, tanpa menyentuh esensi kurikulum.

Siswa pun menjadi korban sunyi. “Mereka seperti kelinci percobaan. Setiap kali kurikulum berganti, materi, metode penilaian, dan pola pembelajaran berubah drastis. Ini mengikis semangat belajar dan menciptakan generasi yang gamang,” tambahnya. Orang tua turut terbebani, mulai dari pengeluaran untuk buku baru hingga kebingungan memahami sistem yang terus berubah.

Dr. Iswadi mengkritik praktik penggantian kurikulum yang terburu-buru. “Evaluasi implementasi kurikulum sebelumnya sering kali diabaikan. Pemerintah ingin cepat menunjukkan ‘prestasi’, padahal pendidikan adalah proses jangka panjang. Hasilnya baru terlihat puluhan tahun kemudian,” paparnya. Ia mencontohkan Finlandia dan Jepang yang menjaga konsistensi kurikulum sambil melakukan perbaikan bertahap berbasis riset.

Ia juga menyoroti kesenjangan antara jargon kurikulum dan realitas di lapangan. “Kurikulum 2013 mengusung pendekatan saintifik, tapi guru tidak dilatih secara memadai. Kurikulum Merdeka menawarkan kebebasan, namun banyak guru justru kehilangan arah,” ujarnya.

Untuk menghentikan “malapetaka” ini, Dr. Iswadi menekankan pentingnya melibatkan seluruh pemangku kepentingan. “Perumusan kurikulum harus melibatkan guru, akademisi, orang tua, dan siswa. Evaluasi menyeluruh terhadap kurikulum lama wajib menjadi dasar perubahan,” tegasnya.

Selanjutnya dirinya juga mendorong implementasi bertahap. “Jangan terburu-buru menerapkan serentak. Beri waktu bagi guru dan siswa untuk adaptasi, serta perbaiki infrastruktur pendukung seperti pelatihan guru dan ketersediaan bahan ajar,” tambahnya.

Dr. Iswadi mengingatkan, pendidikan adalah investasi peradaban, bukan proyek politik. “Kurikulum adalah peta jalan masa depan bangsa. Jika terus diubah sembarangan, kita hanya akan melahirkan generasi yang bingung, bukan unggul,” tandasnya.

Ia berharap pemerintah belajar dari kesalahan masa lalu. “Konsistensi dan keberpihakan pada kebutuhan siswa harus jadi prioritas. Hanya dengan itu, kita bisa mewujudkan visi pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan,” pungkasnya.

Sebagai penutup, ia mengajak semua pihak untuk melihat pendidikan sebagai ruang tumbuh kembang anak, bukan ajang eksperimen kebijakan. “Mari berhenti menjadikan kurikulum sebagai warisan jabatan. Fokuslah pada bagaimana anak-anak kita belajar dengan bahagia dan bermakna,” serunya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
diskes
hardiknas