Kamis, 26 Juni 2025
Beranda / Pemerintahan / Gula dari Batang Sawit: Terobosan Hilirisasi yang Dinantikan Petani

Gula dari Batang Sawit: Terobosan Hilirisasi yang Dinantikan Petani

Kamis, 26 Juni 2025 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Wakil Sekretaris Jenderal DPP APKASINDO, Fadhli Ali, SE, M.Si. Foto: for Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Aceh - Inovasi terbaru Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dalam memanfaatkan batang kelapa sawit tua hasil program replanting menjadi nira gula sawit, mendapat sambutan positif dari kalangan petani. Wakil Sekretaris Jenderal DPP APKASINDO, Fadhli Ali, SE, M.Si, menilai langkah ini sebagai solusi konkret yang berpihak kepada petani, terutama mereka yang mengikuti program replanting.

"Ini merupakan langkah solutif. Petani masih bisa mendapatkan penghasilan dari kebun sawit yang telah ditumbang, dengan memanfaatkan nira dari batang sawit tua,” ujar Fadhli kepada Dialeksis.

Proyek percontohan (pilot project) produksi nira gula sawit yang diresmikan secara simbolis oleh Kemenperin disebut Fadhli sebagai terobosan penting dalam upaya diversifikasi produk sawit nasional. Menurutnya, selama ini petani sawit sangat bergantung pada Tandan Buah Segar (TBS), yang harganya sangat fluktuatif dan kerap dipermainkan oleh pihak perusahaan.

"Selama ini, harga TBS di Aceh selalu berada di bawah provinsi tetangga, dengan selisih Rp300 hingga Rp350 per kilogram. Ini sangat merugikan petani. Sayangnya, pengawasan dan pembinaan dari Dinas Perkebunan Aceh sangat lemah,” tegas Fadhli.

Ia menambahkan bahwa selama ini batang sawit hasil replanting umumnya hanya dibakar, sehingga proyek nira sawit ini dapat menjadi sumber pendapatan baru yang sangat dibutuhkan petani.

"Ini solusi ekonomi riil bagi masyarakat sekitar perkebunan. Saya tahu bahwa pemanfaatan nira sawit ini pernah dicoba oleh petani peserta replanting di Aceh Timur dan Aceh Tamiang," tambahnya.

Fadhli menyebutkan, program replanting di Aceh mencakup sekitar 60 ribu hektare hingga tahun lalu, menjadikan Aceh sebagai salah satu provinsi dengan tingkat implementasi replanting tertinggi di Indonesia. Hal itu tidak terlepas dari status Aceh sebagai daerah pionir dalam budidaya kelapa sawit.

Namun demikian, ia pesimistis proyek inovatif ini bisa berdampak besar bagi petani jika tidak diikuti dengan keseriusan dari pemerintah daerah.

"Potensi Aceh luar biasa, tapi sayangnya, Dinas Perkebunan Aceh seperti tidak fokus dan tidak berpihak pada petani. Banyak masalah petani dibiarkan mengendap tanpa solusi," ujar Fadhli.

Fadhli juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap perusahaan pengolahan kelapa sawit (PKS). Ia menyebut tidak adanya penegakan hukum dan sanksi terhadap PKS yang enggan menyampaikan laporan atau invoice harga menjelang penetapan harga TBS oleh pemerintah.

"Bahkan, ada perusahaan yang tidak pernah menyampaikan laporan sama sekali, namun tetap dibiarkan beroperasi tanpa sanksi. Ini mencerminkan lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap nasib petani," katanya.

Menurutnya, pengelolaan sektor perkebunan di Aceh masih jauh dari optimal. Banyak potensi peningkatan pendapatan petani yang terabaikan akibat kurangnya perhatian dan intervensi pemerintah.

Fadhli mencontohkan mahalnya biaya logistik ekspor CPO (minyak sawit mentah) dari Aceh yang mencapai Rp600 per kilogram, karena ketiadaan pelabuhan representatif.

"Kalau kita ingin nira sawit ini kompetitif, maka pemerintah harus memastikan akses pasar dan infrastruktur tersedia dengan baik. Jangan sampai nilai tambah yang dihasilkan petani justru terhambat di tahap pemasaran," katanya.

Selain itu, ia juga menekankan pentingnya transparansi dalam pembentukan harga. Ia menyebut bahwa kenaikan harga CPO dunia sering tidak dirasakan langsung oleh petani Aceh.

"Saat pungutan ekspor CPO dihapus, harga TBS di Aceh hanya naik puluhan rupiah. Sementara di Sumatera Utara bisa naik hingga Rp1.000 per kilogram. Ini jelas menyakitkan bagi petani,” tegasnya.

Fadhli juga menyoroti pentingnya pelatihan teknis dan pendampingan berkelanjutan dalam pemanfaatan nira sawit.

“Pemerintah daerah, baik gubernur maupun bupati, wajib hadir dalam pengawasan harga, rantai pasok, dan memastikan peran koperasi. APKASINDO siap menjadi mediator agar petani mendapatkan harga yang wajar,” ungkap Fadhli.

Ia mengajak semua pihak untuk membayangkan potensi besar jika nira sawit bisa menghasilkan nilai tambah dari 60 ribu hektare lahan yang direplanting.

“Bayangkan jika kita serius. Potensinya sangat besar. Dan itu baru dari satu komoditas. Belum lagi dari pala, pinang, atau bahkan padi yang selama ini kurang mendapatkan perhatian,” ujarnya.

Sebagai seorang ekonom sekaligus petani, Fadhli berharap proyek nira sawit ini tidak sekadar menjadi uji coba simbolik, tetapi harus menjadi bagian dari transformasi struktural sektor perkebunan Aceh menuju kemandirian dan kesejahteraan petani yang lebih baik.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
dpra