DIALEKSIS.COM | Jakarta - Pemerintah Aceh membuka jalan baru bagi investasi sektor mineral. Melalui PT Prima Copper Industri (PCI), mereka resmi meneken nota kesepahaman dengan MCC15, perusahaan BUMN asal Tiongkok, untuk membangun fasilitas tambang sekaligus smelter di Aceh.
Kesepakatan itu ditandatangani di kantor PCI, Tangerang, Banten, Jumat, 12 September 2025. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, hadir langsung dalam prosesi tersebut. Pria yang akrab disapa Mualem itu menegaskan dukungan penuh terhadap langkah strategis ini.
“Mudah-mudahan kerja sama ini berjalan lancar dan dapat terealisasi sebagaimana yang diinginkan sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati,” kata Mualem, usai menyaksikan penandatanganan MoU.
Tak hanya hadir sebagai saksi, Mualem juga meninjau lini produksi logam non-besi PCI, mulai dari kawat hingga batang kuningan yang selama ini menjadi produk andalan ekspor perusahaan.
PCI bukan nama baru dalam industri logam. Anak usaha CIQUITA Group ini merupakan produsen sekaligus eksportir brass wire dan brass rods terbesar di Indonesia. Sementara MCC15 dikenal sebagai perusahaan milik negara Tiongkok yang menempatkan diri sebagai pemain global di bidang rekayasa peleburan tembaga.
Kombinasi keduanya dipandang strategis. PCI membawa pengalaman panjang sebagai produsen dan eksportir logam, sedangkan MCC15 menyumbang teknologi mutakhir serta jaringan internasional di sektor pertambangan.
Merespon rencana tersebut, Direktur Eksekutif Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina), Muhammad Nur, menilai kerja sama ini sebagai momentum emas yang harus dimanfaatkan dengan cerdas.
“PCI dan MCC15 bukan hanya membawa modal, tapi juga teknologi, jaringan pasar global, dan pengalaman panjang. Jika dikelola dengan benar, ini bisa menjadi titik balik Aceh di sektor energi dan mineral,” ujarnya kepada Dialeksis saat dihubungi, Sabtu (13/09/2025).
Menurutnya, keberadaan smelter di Aceh akan menjadi terobosan penting. Selama ini, sumber daya tambang kerap diekspor dalam bentuk mentah sehingga nilai tambah hilang di luar daerah. Dengan adanya smelter, rantai produksi bisa diperpanjang di Aceh sendiri.
“Ini bukan semata urusan bisnis, melainkan kesempatan bagi Aceh untuk keluar dari jebakan sebagai penonton. Kita harus menjadi pemain utama dalam pengelolaan sumber daya alam,” tegasnya.
Muhammad Nur juga mengingatkan bahwa keberhasilan investasi ini bergantung pada tata kelola. Pemerintah Aceh harus mampu memastikan agar proyek ini tidak hanya menguntungkan investor, tetapi juga memberi dampak nyata bagi masyarakat. “Mulai dari keterlibatan tenaga kerja lokal, peluang bagi UMKM dalam rantai pasok, hingga pembangunan infrastruktur pendukung yang bisa dirasakan masyarakat luas,” tambahnya.
Meski memberi harapan besar, jalan menuju realisasi proyek ini masih panjang. Ada tahap studi kelayakan, pembebasan lahan, pembangunan infrastruktur dasar seperti listrik, air, dan jalan, hingga operasional penuh yang memerlukan waktu bertahun-tahun.
Selain itu, Muhammad Nur menekankan pentingnya aspek lingkungan. “Kita tidak boleh mengulangi kesalahan masa lalu, di mana kekayaan alam dikeruk habis tanpa memikirkan keberlanjutan. Smelter ini harus berdiri dengan standar ramah lingkungan, dengan pengawasan ketat dari pemerintah dan masyarakat sipil,” katanya.
Kerja sama ini, jika terealisasi, akan menjadi tonggak penting industrialisasi Aceh. Daerah yang selama ini dikenal sebagai penghasil bahan mentah berpotensi naik kelas menjadi kawasan industri mineral dengan daya saing global.
Namun, keberhasilan itu bukan hanya ditentukan oleh MoU di atas kertas, melainkan oleh konsistensi implementasi, komitmen pemerintah menjaga kepentingan rakyat, serta kemampuan memastikan investasi membawa manfaat nyata bagi generasi mendatang.
“Kerja sama dengan MCC15 memberi secercah optimisme. Tapi optimisme saja tidak cukup, Aceh harus menyiapkan regulasi, tata kelola, dan kesiapan sumber daya manusia agar benar-benar menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” tutup Muhammad Nur.