DIALEKSIS.COM | Aceh - Kebijakan efisiensi yang diusung Presiden Prabowo Subianto sejak awal masa kepemimpinannya terus menuai analisis dari kalangan akademisi. Aryos Nivada, Akademisi Ilmu Politik FISIP Universitas Syiah Kuala, menilai langkah tersebut bukan sekadar upaya penghematan anggaran, melainkan bagian dari strategi politik untuk mengonsolidasi kekuasaan sekaligus menjaga stabilitas pemerintahan dan pembangunan Indonesia.
“Efisiensi yang digaungkan Prabowo harus dibaca dalam perspektif politik yang lebih luas. Ini adalah cara untuk memperkuat posisinya, baik sebagai kepala negara maupun sebagai pemimpin koalisi partai pendukungnya,” ujar Aryos kepada awak media, Sabtu (12 April 2025).
Menurut Aryos pengamat politik dan keamanan, klaim Prabowo bahwa “Indonesia punya uang” dalam berbagai kesempatan bukan sekadar retorika ekonomi, melainkan sinyal politik untuk mengendalikan dinamika internal koalisi.
“Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Prabowo ingin memastikan bahwa sumber daya finansial negara berada dalam kendalinya. Dengan begitu, ia bisa membatasi ruang gerak partai-partai koalisi yang mungkin ingin ‘bermain’ anggaran secara mandiri untuk kepentingan partainya,” papar Pendiri Jaringan Survei Inisiatif.
Lebih lanjut, Aryos pendiri Lingkar Sindikasi ini menjelaskan bahwa kebijakan efisiensi menjadi instrumen untuk mencegah partai politik “keblabasan” dalam mengumpulkan pundi-pundi dana.
“Jika anggaran dikelola secara ketat dari pusat, partai-partai tidak leluasa mencari celah untuk mengakses dana publik. Ini mengurangi risiko korupsi maupun praktik pembagian ‘proyek’ yang kerap memicu konflik internal koalisi,” tambahnya.
Dari perspektif politik anggaran, Aryos menegaskan bahwa langkah efisiensi Prabowo juga merupakan upaya menjaga stabilitas pemerintahan.
“Dengan mengontrol alokasi anggaran secara sentralistik, pemerintah bisa memprioritaskan program-program strategis yang mendukung visi pembangunannya. Di sisi lain, ini juga meminimalisir gejolak politik jika terjadi defisit atau ketimpangan fiskal,” ujarnya.
Ia mencontohkan, penghematan di sektor tertentu seperti subsidi energi bisa dialihkan ke program-program yang menciptakan efek politik langsung, seperti bantuan sosial atau infrastruktur. “Ini tak hanya menjaga citra pemerintah di mata publik, tetapi juga memperkuat legitimasi Prabowo sebagai pemimpin yang ‘tegas’ dan ‘bertanggung jawab’,” jelas Aryos.
Namun, akademisi yang kerap meneliti dinamika politik lokal dan nasional ini mengingatkan bahwa sentralisasi kebijakan anggaran berisiko memicu ketergantungan partai-partai pada figur Prabowo.
“Jika efisiensi hanya dipahami sebagai pemusatan keputusan, maka partai-partai koalisi akan semakin terkooptasi. Mereka tak punya pilihan selain loyal, karena sumber daya ada di tangan pemimpin,” kata Alumnis Lemhannas ini.
Menanggapi kritik bahwa kebijakan ini berpotensi mengikis transparansi, Aryos menekankan bahwa keberhasilan efisiensi harus diukur dari kemampuan pemerintah menyeimbangkan kontrol politik dengan akuntabilitas.
“Efisiensi tidak boleh menjadi tameng untuk menutup proses pengawasan. Justru, Presiden Prabowo perlu memastikan bahwa setiap penghematan disertai dengan mekanisme audit yang independen,” tegasnya.
Sebagai penutup, Aryos menyatakan bahwa langkah-langkah yang diambil Prabowo saat ini akan menentukan konsistensi citranya sebagai pemimpin yang reformis.
“Efisiensi bisa menjadi pisau bermata dua. Jika dijalankan dengan prinsip keadilan dan transparansi, ini akan memperkuat stabilitas. Namun, jika hanya untuk memusatkan kekuasaan, maka demokrasi kita bisa kembali mundur ke era sentralisme otoriter,” ingatnya.
Lebih lanjut Aryos menggarisbawahi kompleksitas kebijakan efisiensi di bawah kepemimpinan Prabowo, yang tidak hanya bermuatan teknis - ekonomis, tetapi juga sarat dengan pertarungan dan konsolidasi kekuasaan di tingkat elite.
“Tantangannya kini adalah memastikan bahwa langkah tersebut tetap sejalan dengan semangat demokrasi dan kepentingan publik,” pungkas pria humble ini.