DIALEKSIS.COM | Aceh Barat - Kebijakan Bupati Aceh Barat terkait perusahaan PT Mifa Bersaudara (Mifa) menuai kritik tajam dari Muhammad Nur, SH., Direktur Eksekutif Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina). Nur mendesak Bupati segera menghentikan langkah yang dinilai merusak iklim investasi di wilayah itu.
Menurut Nur, Bupati dianggap melampaui kewenangannya dengan ikut campur dalam program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Mifa. Kebijakan ini, tegasnya, berpotensi menciptakan persepsi negatif di kalangan investor.
“Investasi harus didorong dengan kebijakan yang memudahkan, bukan dipersulit oleh tindakan politis dan tidak objektif,” ujarnya kepada Dialeksis, Minggu (23/03/2025).
Nur menyoroti kejanggalan kebijakan ini, mengingat di Aceh Barat tercatat 8 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 100 konsesi Hak Guna Usaha (HGU).
“Mengapa audit CSR hanya difokuskan ke Mifa? Apakah perusahaan lain di sektor tambang dan HGU tidak memiliki kewajiban CSR? Atau justru ada standar ganda dalam penegakan aturan?” tanyanya.
“Selama 21 tahun atau dua dekade terakhir, audit CSR tidak pernah dilakukan di Aceh Barat. Pertanyaannya, apakah Pemda selama ini memiliki kewenangan untuk mengelola langsung dana CSR atau justru tidak pernah menerima alokasi CSR maupun bagi hasil dari Mifa dan perusahaan lain di wilayah ini? Jika iya, mengapa baru sekarang muncul surat perintah audit?” tambah Nur, meragukan keseriusan Pemda dalam mengawal program CSR.
Ia juga mempertanyakan legalitas surat edaran Bupati yang hanya menyasar Mifa. “Jika ini kebijakan level Bupati, apakah berlaku untuk semua perusahaan swasta atau hanya Mifa? Perlu diingat, Mifa bukan BUMN seperti PEMA, melainkan usaha swasta. Kewenangan apa yang menjadi dasar Bupati mengintervensi CSR perusahaan swasta?” tegas Nur.
“Di level provinsi, Gubernur Aceh hanya meminta laporan pengelolaan dan pengeluaran CSR dari perusahaan, tanpa ikut mengendalikan langsung. Ini menunjukkan bahwa CSR adalah ranah kesepakatan antara perusahaan dan pemerintah pusat. Lalu, mengapa Bupati Aceh Barat justru mengambil langkah ekstrem dengan memerintahkan audit?” tambah Nur, menyoroti ketidakjelasan kewenangan Bupati dalam hal ini.
Lebih lanjut, Nur meminta transparansi: “Jika Bupati konsisten, audit CSR harus menyasar seluruh pemegang IUP dan HGU di Aceh Barat. Jangan sampai ini terkesan sebagai kebijakan diskriminatif yang hanya memojokkan satu entitas.”
Nur juga mengingatkan bahwa CSR merupakan bagian dari kesepakatan perusahaan dengan pemerintah pusat dan daerah.
“Intervensi sepihak Bupati dalam hal ini berisiko menciptakan ketidakpastian hukum. Apalagi, perusahaan swasta tidak berada di bawah kendali langsung pemerintah daerah seperti BUMN,” jelasnya.
“Jika selama ini Pemda merasa tidak pernah mendapat manfaat CSR atau bagi hasil dari Mifa dan perusahaan lain, ini harus diselesaikan melalui mekanisme yang jelas, bukan dengan kebijakan tiba-tiba yang terkesan tidak adil,” tambahnya.
“Pertanyaannya, apa misi sebenarnya di balik kebijakan ini? Apakah ada kepentingan politis atau agenda terselubung dari Bupati? Jangan sampai ini menjadi alat untuk menekan perusahaan tertentu sambil mengabaikan prinsip keadilan bagi pelaku usaha lain,” tegas Nur, menggarisbawahi kekhawatiran atas motif di balik langkah Bupati.
Nur menutup dengan desakan agar Bupati menyelesaikan persoalan ini secara bijaksana melalui dialog terbuka. “Kebijakan sepihak hanya merugikan rakyat. Aceh Barat bisa kehilangan peluang pekerjaan dan kesejahteraan,” pungkasnya.