Minggu, 04 Mei 2025
Beranda / Pemerintahan / Ombudsman RI Menyoroti, Masalah Akun Partisipatif di SIPD Tidak Tersedia

Ombudsman RI Menyoroti, Masalah Akun Partisipatif di SIPD Tidak Tersedia

Jum`at, 02 Mei 2025 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Dadan Suparjo Suharmawijaya, Anggota Ombudsman Republik Indonesia. Foto: menpan.go.id


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Pelaksanaan sistem perencanaan pembangunan melalui aplikasi Sistem Informasi Perencanaan Daerah (SIPD) mengundang sorotan setelah ditemukannya celah dalam mekanisme penginputan usulan partisipatif masyarakat. Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SIPN), proses perencanaan seharusnya melibatkan lima mekanisme: bottom-up, teknokratik, politik, aspirasi, dan partisipatif.

Namun, dalam praktiknya, SIPD hanya menyediakan akun khusus untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), sementara jalur partisipatif masyarakat tidak memiliki akun terpisah. Hal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih usulan serta mengaburkan transparansi dan akuntabilitas.

Dialeksis menelisik lebih jauh temuan ini dengan menghubungi Dadan Suparjo Suharmawijaya, Anggota Ombudsman Republik Indonesia. Dalam tanggapannya, Dadan menjelaskan bahwa tanggung jawab utama untuk mengakomodasi seluruh mekanisme perencanaan, termasuk jalur partisipatif, berada di tangan OPD sebagai eksekutif dan DPRD sebagai representasi fungsi legislatif.

“Rakyat bisa menuntut dan menyalahkan kedua pihak ini jika aspirasi partisipasi tidak terakomodasi,” tegasnya, Jumat (02/05/2025).

Dadan menekankan bahwa mekanisme partisipasi sudah seharusnya diwadahi melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang berjenjang, mulai dari tingkat dusun/kampung, desa, kecamatan, kabupaten/kota, hingga nasional.

“Musrenbang harus mampu menyerap semua aspirasi, termasuk dari kanal resmi maupun non-resmi seperti media sosial atau media massa,” ujarnya.

Menurutnya, OPD dan DPRD memiliki forum harmonisasi, seperti Panitia Anggaran (Panggar), Badan Anggaran (Banggar), dan Badan Aspirasi Masyarakat, untuk memastikan tidak terjadi tumpang tindih usulan.

“Kuncinya ada pada komitmen kedua pihak untuk mengoptimalkan forum tersebut dalam mengelola masukan masyarakat,” tambah Dadan.

Temuan Dialeksis memperlihatkan bahwa ketiadaan akun khusus partisipasi dalam SIPD berisiko membuat aspirasi masyarakat “terserap” secara tidak langsung melalui OPD atau DPRD, tanpa rekam jejak yang jelas. Padahal, transparansi menjadi salah satu prinsip utama dalam UU SIPN.

Dadan mengakui perlunya evaluasi lebih lanjut terkait struktur SIPD, meski ia menggarisbawahi bahwa masalah utama terletak pada implementasi, bukan regulasi.

“Saya perlu mempelajari lebih dalam lagi, tetapi yang pasti, akuntabilitas perencanaan harus dijaga melalui sinergi eksekutif dan legislatif,” pungkasnya.

Pendapat selaras disampaikan Fauza Andriyadi, SHi, Msi peneliti Jaringan Survei Inisiatif, masyarakat kini menunggu langkah konkret dari pemerintah daerah dan DPRD untuk memperkuat mekanisme partisipasi, termasuk dengan memastikan setiap usulan dari bawah tercatat secara transparan dalam SIPD.

“Jika tidak, potensi tumpang tindih dan ketidakjelasan alokasi anggaran akan terus mengancam efektivitas pembangunan,” tandasnya.

Dialeksis akan terus memantau perkembangan kebijakan terkait sistem perencanaan ini dan mendorong inovasi teknologi yang lebih inklusif untuk memastikan tak ada suara masyarakat yang terabaikan.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
diskes