DIALEKSIS.COM | Aceh - Hingga 26 Juni 2025, data yang ditampilkan melalui monitor TV P2K APBA Pemerintah Aceh menunjukkan capaian realisasi keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) Tahun Anggaran 2025 sebesar 28,7 persen, dari target 35,5 persen pada akhir Juni. Sementara itu, realisasi fisik tercatat 31 persen dari target 37 persen.
Meskipun tidak terlalu buruk, potensi tidak tercapainya target akhir bulan tetap ada. Lebih dari itu, kekhawatiran terhadap tingginya angka Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) di akhir tahun 2025 masih menjadi isu serius. SILPA kerap menjadi indikator kualitas pengelolaan anggaran daerah, sekaligus cermin dari efektivitas kinerja Pemerintah Aceh dalam mengelola keuangan publik. Selain itu, SILPA juga menjadi salah satu fokus dalam laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Guna menekan angka SILPA, Pemerintah Aceh didorong untuk meningkatkan daya serap anggaran sepanjang 2025. Selama ini, rendahnya penyerapan anggaran dinilai sebagai salah satu penyebab utama tidak optimalnya dampak pembangunan terhadap perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala, Dr. Syukriy Abdullah, S.E., M.Si., menyampaikan pandangannya terkait kondisi ini. Ia menekankan pentingnya perencanaan dan pengelolaan anggaran yang lebih efektif dan efisien sejak awal tahun anggaran berjalan.
“Besarnya SILPA setiap tahun mencerminkan lemahnya perencanaan dan pelaksanaan anggaran oleh Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA). Perlu ada pembenahan menyeluruh terhadap sistem penganggaran dan mekanisme pelaksanaannya. Jika tidak, kecenderungan SILPA yang besar akan terus berulang, dan ini tentu sangat merugikan rakyat Aceh,” ujar Dr. Syukriy kepada Dialeksis.com, Sabtu (28/6/2025).
Ia menjelaskan, salah satu penyebab utama tingginya SILPA selama ini adalah penganggaran yang tidak selaras dengan kebutuhan dan kapasitas teknis SKPA. Rendahnya serapan belanja modal, menurutnya, kerap disebabkan oleh alokasi anggaran untuk kegiatan yang sebenarnya tidak mendesak dan kurang relevan, sehingga tidak menjadi prioritas pelaksanaan.
“Seringkali kegiatan yang dirancang justru bertujuan membuka ruang bagi perubahan APBA di tengah tahun. Padahal, kegiatan tersebut seharusnya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, namun justru terhambat oleh persoalan teknis, birokratis, dan lemahnya perencanaan,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa realisasi anggaran tidak sekadar soal pencairan dana, tetapi harus dilihat dari dampaknya terhadap masyarakat. “Esensi utama APBA adalah sebagai instrumen fiskal dan alat distribusi sumber daya daerah. Tujuannya jelas: mendukung misi peningkatan kesejahteraan rakyat,” imbuhnya.
Dr. Syukriy juga menyoroti pentingnya menyusun APBA secara realistis, berbasis pada kemampuan teknis pelaksanaan di lapangan. Menurutnya, pengaruh politik anggaran”terutama dari pokok-pokok pikiran (Pokir) anggota dewan”tidak boleh menghambat efektivitas penyerapan anggaran. Pokir seharusnya disusun sesuai dengan tahapan dan basis sistem informasi pemerintah daerah (SIPD), agar tidak muncul program siluman yang hanya dikemas dalam indikator kinerja yang tidak relevan.
Dalam konteks pengawasan, ia mendorong penguatan fungsi Inspektorat Daerah sebagai pengawal utama proses reviu dokumen anggaran, pelaksanaan, dan pelaporannya. Namun, pengawasan ini juga harus ditopang dengan regulasi yang kuat, yakni Peraturan Gubernur (Pergub) yang tegas dan rinci, sebagai acuan bagi SKPA maupun auditor internal.
“Kultur audit harus tumbuh dari dalam, dari para pejabat daerah yang diberi mandat mengelola anggaran. Jangan sampai program hanya bagus di atas kertas, tapi tak berjalan di lapangan. Ini soal komitmen dan manajemen pemerintahan,” tegasnya.
Ia juga menyinggung soal kebiasaan buruk menumpuk realisasi anggaran di akhir tahun, khususnya untuk proyek-proyek fisik yang melalui mekanisme lelang. Menurutnya, pola ini harus segera diubah. “Ada indikasi keterlambatan lelang karena pengaruh pihak tertentu. Ini harus dihentikan,” ujar Dr. Syukriy.
Untuk mengatasi hal ini, ia menekankan pentingnya kolaborasi erat antara Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA), Bappeda, dan SKPA dalam menyusun rencana pelaksanaan kegiatan serta pengadaan barang dan jasa sejak awal tahun anggaran. Komitmen bersama sangat dibutuhkan agar tidak terjadi penumpukan pekerjaan di triwulan keempat.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa keberhasilan pengelolaan anggaran tidak hanya diukur dari sisi serapan, tetapi juga efisiensi, transparansi, serta manfaat nyata yang dirasakan masyarakat. Karena itu, pemanfaatan teknologi informasi menjadi kunci penting.
“Sistem e-monitoring dan dashboard pelaporan anggaran harus dimanfaatkan maksimal, agar proses bisa dipantau secara real time, dan hambatan bisa diidentifikasi serta dikoreksi lebih cepat,” katanya.
Dr. Syukriy juga mengingatkan bahwa tahun anggaran 2025 adalah tahun yang penuh tantangan bagi pemerintah daerah, termasuk Pemerintah Aceh. Instruksi Presiden Prabowo Subianto tentang efisiensi anggaran pada awal tahun 2025 telah mengubah peta fiskal di hampir seluruh daerah. Kondisi ini menuntut efisiensi sekaligus penyesuaian anggaran secara cepat.
Menutup pernyataannya, ia berharap 2025 menjadi momentum perbaikan tata kelola keuangan daerah, khususnya dalam mengoptimalkan peran APBA sebagai instrumen pembangunan dan pelayanan publik.
“Tekanan efisiensi anggaran dari pemerintah pusat justru harus menjadi titik balik bahwa Pemerintah Aceh mampu mengelola anggaran lebih tepat sasaran. Sudah saatnya fokus bukan hanya pada seberapa besar anggaran dialokasikan, tapi bagaimana anggaran tersebut benar-benar memberi manfaat bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” pungkas Dr. Syukriy Abdullah.