kip lhok
Beranda / Pemerintahan / Pemerintah Diminta Berikan Perlindungan bagi Pengungsi di Aceh Selatan

Pemerintah Diminta Berikan Perlindungan bagi Pengungsi di Aceh Selatan

Minggu, 10 November 2024 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi
Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna, menyampaikan desakan keras kepada pemerintah untuk segera memberikan perlindungan bagi ratusan pengungsi yang terlantar di atas truk tanpa fasilitas dasar kemanusiaan. 

Permintaan ini muncul seiring dengan kondisi memprihatinkan yang dialami 152 pengungsi termasuk perempuan hamil dan anak-anak yang sejak 6 November lalu diangkut dari Aceh Selatan ke Banda Aceh tanpa bantuan logistik, layanan kesehatan, atau akses ke toilet.

“Pengungsi telah berada di atas truk selama hampir 48 jam tanpa bantuan dasar. Pemerintah gagal menyediakan tempat yang layak bagi mereka, yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia,” tegas Azharul kepada Dialeksis.com, Minggu (10/11/2024).

Ia meminta agar para pengungsi segera diturunkan dan ditempatkan di lokasi penampungan dengan fasilitas yang layak, terutama untuk kelompok rentan seperti ibu hamil dan anak-anak yang membutuhkan perhatian medis khusus.

Kejadian bermula pada 6 November ketika Pemerintah Daerah (Pemda) Aceh Selatan memutuskan untuk mengirim para pengungsi ke Banda Aceh guna menuntut tanggung jawab dari negara, khususnya dari Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Aceh. 

Kendati demikian, ketika rombongan pengungsi tiba di Banda Aceh pada dini hari, pintu-pintu kantor pemerintahan tertutup bagi mereka. 

Pemda Banda Aceh mengklaim tidak memiliki koordinasi atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan Pemda Aceh Selatan untuk menerima pengungsi, sehingga pemerintah daerah hanya bisa menyaksikan pengungsi menunggu di truk tanpa kepastian.

Menurut Azharul, kegagalan koordinasi ini merupakan cerminan dari lemahnya penegakan Peraturan Presiden (Perpres) 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. 

"Perpres mengamanatkan bahwa proses pemindahan, pendataan, dan serah terima pengungsi harus dilakukan oleh Imigrasi dan Pemda. Namun, hingga saat ini, belum ada langkah konkret yang menunjukkan komitmen pemerintah terhadap perlindungan para pengungsi,” katanya.

Dalam situasi yang kacau, aparat kepolisian tetap mengawal para pengungsi di atas truk sepanjang hari di depan kantor Kemenkumham di Banda Aceh. 

Bahkan, pihak kepolisian sempat mengusulkan agar pengungsi dipulangkan kembali ke Aceh Selatan, meskipun Pemda Lhokseumawe telah menyatakan kesediaannya menerima para pengungsi.

Seiring negosiasi yang berjalan lambat, ratusan pengungsi tetap berada di atas truk dengan fasilitas yang tidak manusiawi. 

Kondisi ini diperburuk oleh cuaca yang panas serta minimnya air bersih, yang menyebabkan banyak pengungsi mengalami dehidrasi.

Beberapa laporan menunjukkan bahwa anak-anak terpaksa buang air di botol mineral karena tidak adanya akses ke toilet.

Lembaga-lembaga kemanusiaan yang berupaya memberikan bantuan di lokasi pun terbatas dalam wewenangnya, hanya bisa memantau dan menyediakan makanan serta air minum sesuai izin yang diperoleh. 

Azharul mengapresiasi peran lembaga-lembaga ini dan warga masyarakat yang tetap membantu meski dalam tekanan. 

"Ini adalah pelanggaran nyata terhadap prinsip kemanusiaan. Pemerintah harus segera mengambil langkah konkrit untuk memastikan keselamatan dan kenyamanan pengungsi,” tegasnya.

Di tengah kekacauan ini, kelompok mahasiswa dan aktivis kemanusiaan turut hadir di lokasi, mendesak agar pengungsi segera diberikan tempat penampungan yang layak. 

Mereka memohon kepada pihak kepolisian untuk mengizinkan pengungsi turun dari truk dan meminta agar pengungsi tidak dipulangkan kembali ke Aceh Selatan. Namun, permintaan mereka belum membuahkan hasil yang signifikan.

Secara tiba-tiba, muncul spanduk-spanduk penolakan dari warga yang memperburuk situasi, meski belum dapat diverifikasi apakah spanduk ini merupakan respons spontan atau provokasi terorganisir. 

KontraS Aceh menduga adanya pola pengkondisian yang terkait dengan isu pengungsi dan politik, terutama sejak masalah pengungsi Rohingya menjadi perhatian dalam isu elektoral pasca-pemilu terakhir.

Azharul menyoroti ketidakhadiran pemerintah pusat dalam penanganan kasus ini.

Menurutnya, Menteri Dalam Negeri yang seharusnya mengawasi Pemda, Kapolri yang bertanggung jawab atas pengamanan, serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) yang berperan sebagai koordinator utama dalam penanganan pengungsi sesuai Perpres, tidak menjalankan tugasnya dengan baik.

Kondisi pengungsi semakin genting ketika mereka kembali diarahkan menuju Aceh Selatan setelah gagal ditempatkan di Banda Aceh. 

Namun, pada malam harinya, terdapat informasi bahwa Pemda Lhokseumawe akhirnya bersedia menerima pengungsi setelah adanya desakan dari Pemerintah Provinsi Aceh.

“Pemerintah harus segera bertindak dengan hati-hati dan mengedepankan prinsip kemanusiaan. Mereka harus ingat bahwa para pengungsi ini adalah korban dan saksi dari tindak kejahatan perdagangan manusia. Kehadiran negara sangat penting dalam melindungi hak-hak mereka,” pungkas Azharul Husna.[nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda