Kamis, 11 Desember 2025
Beranda / Pemerintahan / Pengamat: Ada Upaya Menjatuhkan Kegagahan Prabowo di Aceh

Pengamat: Ada Upaya Menjatuhkan Kegagahan Prabowo di Aceh

Selasa, 09 Desember 2025 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn
Pengamat Kebijakan Publik Dr Nasrul Zaman sekaligus akademisi Universitas Syiah Kuala. Foto: Nukilan

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pengamat Kebijakan Publik sekaligus akademisi Universitas Syiah Kuala, Nasrul Zaman, menilai ada indikasi kuat bahwa Presiden Prabowo Subianto seolah “dijauhkan” dari momentum penting penanganan bencana di Aceh, sehingga tampil kurang gagah di mata publik Aceh. 

Ia menyebut, rangkaian peristiwa yang terjadi sejak banjir bandang dan longsor besar November 2025 mengarah pada dugaan adanya agenda politik yang memengaruhi citra Presiden.

“Patut diduga ada agenda membuat Prabowo hilang gagah di hadapan rakyat Aceh,” kata Nasrul kepada Dialeksis, menanggapi dinamika yang terjadi dalam penanganan bencana Sumatera.

Menurutnya, Aceh adalah wilayah dengan memori panjang terhadap kepemimpinan dalam situasi krisis. Masyarakat Aceh terbiasa menilai pemimpin dari kecepatan hadir, bukan sekadar janji dan pernyataan. 

“Bencana selalu menjadi panggung politik. Rakyat Aceh menilai pemimpin dari keberaniannya turun langsung,” tegasnya.

Nasrul mengingatkan bagaimana presiden-presiden sebelumnya tampil kuat di Aceh pada saat bencana terjadi.

Pada tsunami 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung mengambil keputusan malam itu juga dan terbang menuju Aceh. Langkah itu menjadi simbol kepemimpinan tanggap krisis.

Saat gempa Pidie Jaya 2016, Presiden Joko Widodo mengirim utusan di hari yang sama dan hadir esok harinya. “Jokowi bahkan berbicara dengan masyarakat lewat pengeras suara masjid, memberikan kepastian pembangunan kembali fasilitas umum, dan mempercepat bantuan. Itu simbol kehadiran negara,” kata Nasrul.

Sementara itu, respon Prabowo dinilai lambat dilihat dari persepsi publik Aceh. Bencana besar mulai melanda Sumatera sejak akhir November. Tiga hari kemudian Prabowo menunjuk Menteri Sekretaris Negara Pratikno sebagai koordinator percepatan penanganan. Pada 1 Desember, Prabowo turun ke Aceh Tenggara meninjau Jembatan Pante Dona. Dua hari berikutnya, ia menegaskan bahwa bencana Sumatera menjadi prioritas nasional.

“Namun kehadiran nyata di Aceh sebagai pusat sorotan baru terlihat 7 Desember, saat rapat terbatas digelar di Lanud Sultan Iskandar Muda. Momentum awal sudah hilang,” ujar Nasrul.

Ia menilai, dalam politik bencana, momentum adalah segalanya. Ketika pemimpin hadir terlambat, narasi publik akan cepat berubah.

Kesan ketidakhadiran Prabowo semakin menguat ketika pada 8 Desember 2025, Presiden justru bertolak ke Pakistan dan disambut Presiden serta Perdana Menteri setempat. Sementara itu, penanganan bencana di Aceh dan Sumatera masih belum menunjukkan koordinasi yang solid.

“Ini ironis. Di saat koordinasi belum rapi, Presiden malah pergi. Terlihat ada informasi yang tidak utuh sampai ke beliau,” kata Nasrul.

Ia mengingatkan bahwa sebelumnya Prabowo pernah marah kepada Bupati Aceh Selatan karena pergi umrah saat bencana. “Tapi kini, justru beliau sendiri yang terlihat jauh dari Aceh.”

Nasrul menilai rangkaian peristiwa ini bukan sekadar soal teknis penanganan, tetapi berkaitan dengan politik citra.

“Patut diduga ada pihak yang sengaja mengatur panggung agar Prabowo tidak tampil lebih gagah daripada SBY dan Jokowi di Aceh,” ujarnya.

Bisa saja, menurutnya, ini akibat strategi komunikasi yang buruk. Namun tidak menutup kemungkinan ada agenda terselubung yang memengaruhi alur informasi ke Presiden.

“Entah strategi komunikasi yang salah, entah agenda politik dari pihak tertentu, hasilnya sama. Presiden tampak kehilangan ketegasan di panggung Aceh,” tambahnya.

Menurut Nasrul, rakyat Aceh tidak sekadar menunggu bantuan material. Yang mereka tunggu adalah simbol kehadiran pemimpin.

“Di tanah yang menjadi pusat luka dan solidaritas, kecepatan hadir adalah ukuran kepemimpinan,” katanya.

Ia menegaskan bahwa ukuran itu telah dipakai rakyat Aceh sejak lama. Dan dalam ukuran tersebut, Prabowo tampak kehilangan momentum.

“Dalam bencana, pemimpin dinilai dari siapa yang paling cepat ada di tengah rakyat. Bila tanda itu datang terlambat, narasi publik mudah berubah dari Presiden yang gagah menjadi Presiden yang seolah ragu,” pungkas Nasrul.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI