DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Polemik mengenai desakan agar Bupati Aceh Selatan dinonaktifkan mendapat respons tegas dari Dr. H. M. Saleh, M.Si, mantan Anggota DPRA dan Wakil Ketua DPD I Golkar Aceh. Saleh menilai tudingan yang diarahkan kepada bupati tidak memenuhi unsur hukum maupun etika politik yang dapat dijadikan dasar pemberhentian.
Menurut Saleh, keberangkatan bupati ke luar negeri untuk menunaikan ibadah umrah yang disebutnya sudah lama direncanakan dan terdaftar jauh sebelum bencana terjadi tak bisa serta-merta diposisikan sebagai pelanggaran. Ia bahkan menyebut ibadah itu bisa jadi nazar atau janji spiritual yang harus ditunaikan.
“Bupati belum memenuhi unsur untuk dinonaktifkan. Beliau pejabat politis, dipilih langsung oleh rakyat, bukan pejabat birokrasi. Sebelum berangkat, ia sudah mengatur perangkat daerah dan SKPD untuk menangani bencana pada 27 November 2025,” kata Saleh menyampaikan kepada Dialeksis, 9 Desember 2025.
Ia menggarisbawahi bahwa jabatan kepala daerah tidak tunduk pada mekanisme kepegawaian seperti ASN. Karena mandat seorang bupati bersumber dari rakyat, maka proses pemberhentiannya hanya dapat dilakukan ketika kedaulatan rakyat itu dicabut.
“Selama rakyat tidak menuntut beliau mundur, secara hukum tidak ada ruang bagi DPRK untuk memproses pemberhentian,” ujarnya.
Saleh menyebut aturan hukum sudah memberi batas yang jelas mengenai kapan seorang pejabat politis dapat diberhentikan. Ia menyampaikan lima kategori: berhalangan tetap, meninggal dunia, tindakan moral serius, tertangkap tangan korupsi, atau terjerat tindak pidana yang berkekuatan hukum tetap. Di luar itu, katanya, tidak ada dasar hukum yang memungkinkan pemberhentian seorang bupati.
Ia juga mengingatkan agar perbedaan antara pejabat politis dan pejabat birokrasi tidak dicampuradukkan. Pelanggaran seperti insubordinasi, disersi, atau kelana yudha hanya berlaku bagi ASN, bukan pejabat terpilih.
“Kepala daerah tidak bisa diperlakukan seperti pegawai negeri. Tolong dibedakan standar hukumnya,” tegasnya.
Saleh menilai perdebatan soal keberangkatan bupati justru lebih banyak didorong persepsi emosional ketimbang pertimbangan hukum. Padahal, ujarnya, yang lebih relevan bagi publik adalah apakah pemerintahan tetap berjalan dan penanganan bencana berlangsung efektif.
“Kalau instruksi jalan dan perangkat daerah bekerja, maka polemik soal keberangkatan pribadi yang sudah dijadwalkan jauh hari semestinya tidak dibesar-besarkan. Intinya, bila rakyat masih menghendaki beliau memimpin, proses politik tidak dapat dipaksakan,” kata Saleh.
Ia menutup dengan pesan agar penilaian terhadap kepala daerah tidak terjebak pada opini sesaat. “Kita harus objektif. Hukum memberikan batas yang jelas, dan kedaulatan rakyat tidak boleh disubordinasikan oleh tekanan politik,” ujarnya.