DIALEKSIS.COM | Jakarta - Wakil Ketua Asosiasi Dosen ASN PPPK Indonesia (ADAPI), Muammar Alkadafi, menegaskan bahwa penempatan dosen dalam status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tidak sejalan dengan filosofi profesi dosen, amanat hukum nasional, maupun kebutuhan akademik jangka panjang perguruan tinggi di Indonesia.
Menurut Alkadafi, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menempatkan dosen sebagai pendidik profesional sekaligus ilmuwan dengan tugas utama melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
"Profesi dosen itu mengandaikan keberlanjutan karier, stabilitas status, serta jaminan pengembangan akademik jangka panjang. Sifatnya adalah pengabdian seumur hidup, bukan berbasis kontrak," ujarnya kepada awak media, Minggu, 14 September 2025.
Di sisi lain, UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN membagi aparatur sipil negara menjadi dua: Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan PPPK. Status PPPK, kata Alkadafi, berbasis perjanjian kerja yang dapat dibatasi waktunya.
"Inilah letak persoalannya. Dosen membutuhkan kepastian dan dedikasi jangka panjang, sementara kontrak PPPK justru menciptakan ketidakpastian," katanya.
Alkadafi menekankan, secara yuridis Pasal 51 UU Guru dan Dosen menjamin dosen berhak atas penghasilan layak, jaminan kesejahteraan sosial, dan pembinaan karier berkelanjutan. Hal ini juga dipertegas Pasal 21 UU ASN yang menyebutkan ASN berhak atas penghargaan, jaminan pensiun, serta pengembangan diri. Namun dalam praktiknya, dosen PPPK kerap tidak mendapatkan kepastian hak-hak tersebut, terutama soal pensiun dan pengembangan karier akademik.
Selain itu, jabatan fungsional dosen yang bertahap dari Asisten Ahli hingga Guru Besar membutuhkan waktu panjang dan kepastian status. Mekanisme kontrak PPPK dinilai menghambat kesinambungan karier itu.
"Banyak hibah penelitian internasional mensyaratkan dosen berstatus tetap atau PNS. Status PPPK justru merugikan dosen maupun perguruan tinggi," kata Alkadafi.
Ia juga menilai dari sisi kelembagaan, perguruan tinggi membutuhkan dosen dengan komitmen jangka panjang.
"Kontrak PPPK, meskipun bisa diperpanjang, tetap menimbulkan keraguan dan melemahkan daya saing global kampus," ujarnya.
Kondisi dosen PPPK yang tidak memiliki akses penuh pada jabatan struktural dan jaminan pensiun setara PNS juga menimbulkan diskriminasi. Menurut Alkadafi, hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menjamin perlakuan adil dalam hubungan kerja.
Ia mengingatkan, jika kebijakan dosen PPPK terus dipertahankan, implikasinya adalah penurunan motivasi, berkurangnya dedikasi, hingga melemahnya kolaborasi internasional perguruan tinggi.
ADAPI, kata Alkadafi, mendorong pemerintah mengambil langkah kebijakan tegas. Pertama, meninjau kembali status dosen PPPK dan membuka peluang alih status menjadi PNS melalui kebijakan khusus. Kedua, merevisi regulasi agar profesi dosen ditempatkan hanya dalam status PNS, bukan PPPK. Ketiga, memberi kebijakan afirmatif bagi dosen PPPK agar mendapat hak yang setara, termasuk jaminan pensiun dan pembinaan karier.
"Dosen adalah garda depan pengembangan ilmu pengetahuan. Menempatkan mereka dalam status kontrak tidak hanya merugikan dosen, tapi juga masa depan pendidikan tinggi Indonesia," ujar Alkadafi menutup pernyataannya.