Sabtu, 20 Desember 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Aceh Sah Gandeng Donor Asing, Dosen UIN Ar-Raniry Beberkan Dasar Hukumnya

Aceh Sah Gandeng Donor Asing, Dosen UIN Ar-Raniry Beberkan Dasar Hukumnya

Sabtu, 20 Desember 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Dr. Delfi Suganda, S.H.I., LL.M, Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry. Foto: doc Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Aceh - Pemerintah Aceh dinilai memiliki landasan hukum yang kuat untuk menjalin kerja sama dengan lembaga internasional maupun donor asing, khususnya dalam rangka penanganan kemanusiaan, bencana alam seperti banjir bandang dan longsor, serta program bantuan sosial lainnya.

Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Delfi Suganda, S.H.I., LL.M, Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry. Menurutnya, ketentuan hukum terkait kerja sama internasional Pemerintah Aceh telah diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan.

“Secara normatif, dasar hukumnya sangat jelas dan kuat. Dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), tepatnya Pasal 9 ayat (4), disebutkan bahwa Pemerintah Aceh dapat melakukan kerja sama internasional. Ketentuan tersebut kemudian didelegasikan untuk diatur lebih lanjut melalui peraturan pelaksana,” ujar Delfi saat dihubungi Dialeksis untuk merespon polemik bantuan asing, 20 Desember 2025. 

Ia menjelaskan, peraturan pelaksana yang dimaksud adalah Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2010 tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri. Peraturan Presiden ini menjadi pijakan hukum utama bagi Aceh untuk membuka ruang kerja sama dengan berbagai lembaga internasional.

“Perpres ini lahir sebagai amanat langsung dari UUPA. Di dalamnya, khususnya Pasal 3, 4, dan 5, ditegaskan bahwa Pemerintah Aceh dapat melaksanakan kerja sama dengan lembaga internasional, seperti UNDP, UNICEF, Save the Children, dan lembaga lainnya,” jelasnya.

Menurut Delfi, bentuk kerja sama internasional yang dimungkinkan oleh Perpres tersebut bersifat luas dan tidak dibatasi secara kaku pada sektor tertentu. Selama kerja sama tersebut tidak mengganggu ketertiban umum, stabilitas politik, dan kebijakan politik luar negeri Indonesia, maka kerja sama itu dibenarkan secara hukum.

“Memang tidak disebutkan secara eksplisit harus dalam bentuk kemanusiaan atau sektor tertentu. Tetapi frasa ‘dapat melakukan kerja sama internasional’ menunjukkan bahwa ruang itu terbuka, termasuk untuk kepentingan kemanusiaan dan penanggulangan bencana,” katanya.

Ia menegaskan bahwa secara hukum, tidak ada alasan untuk menolak atau menunda kerja sama internasional yang dilakukan Pemerintah Aceh, selama memenuhi ketentuan yang diatur dalam UUPA dan Perpres tersebut.

“Kalau dari sisi legalitas, fondasinya sudah sangat cukup. UUPA ada, Perpres sebagai peraturan pelaksana juga ada. Jadi secara hukum, tidak ada yang bisa mempersoalkan itu,” tegas Delfi.

Namun demikian, Delfi menilai bahwa persoalan yang kerap muncul bukan lagi pada aspek hukum, melainkan pada aspek politik dan sikap pemerintah pusat.

“Pertanyaan kuncinya justru ada pada kemauan politik pemerintah pusat. Apakah mau mendukung atau tidak. Kalau dasar hukumnya sudah lengkap tetapi tidak dilaksanakan, itu berarti mengabaikan aturan hukum yang sudah ada,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan pentingnya pemahaman yang utuh terhadap regulasi yang mengatur kekhususan Aceh. Menurutnya, jangan sampai kebijakan hanya merujuk pada aturan umum, sementara ketentuan khusus dalam UUPA dan Perpres justru diabaikan.

“Kerja sama internasional Aceh itu sudah diatur secara khusus. Kalau masih dipersoalkan, mungkin karena tidak membaca atau tidak memahami UUPA dan Perpres tersebut,” tutup Delfi.

Dengan demikian, ia menyimpulkan bahwa kerja sama internasional Pemerintah Aceh, khususnya untuk kepentingan kemanusiaan dan penanganan bencana, memiliki dasar hukum yang sah, kuat, dan dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
pema