DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina), Muhammad Nur, SH., angkat bicara terkait aktivitas tambang galian C ilegal di kawasan Luengbata, Kecamatan Banda Raya, Banda Aceh, yang diduga mendapat dukungan dari oknum aparat kepolisian.
Dalam pernyataannya kepada Dialeksis, Muhammad Nur menyampaikan keprihatinan mendalam atas pembiaran tambang ilegal yang telah merusak lingkungan dan merugikan masyarakat setempat. Ia juga mengecam dugaan keterlibatan oknum aparat yang justru menjadi pelindung kegiatan melawan hukum tersebut.
“Ini bukan lagi sekadar persoalan tambang ilegal, tapi juga soal bobroknya integritas penegak hukum jika benar ada oknum polisi yang memback-up. Ini harus dihentikan segera, sebelum kerusakan bertambah parah,” tegas Muhammad Nur kepada Dialeksis saat dihubungi, Kamis (24/7/2025).
Menurutnya, praktik galian C ilegal tidak hanya menyalahi aturan, tetapi juga mencederai upaya pemerintah dalam menjaga tata kelola investasi dan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Ia menilai, jika dibiarkan terus berlangsung, aktivitas semacam ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Aceh.
Muhammad Nur juga mendesak Pemerintah Kota Banda Aceh, khususnya Wali Kota, untuk bersikap tegas dan memberikan instruksi penghentian aktivitas tambang ilegal di Luengbata. Ia menilai pernyataan Camat Banda Raya yang meminta arahan kepada wali kota menunjukkan lemahnya keberanian otoritas lokal dalam menindak pelaku pelanggaran.
“Ini waktunya wali kota menunjukkan keberpihakan pada kepentingan rakyat dan kelestarian lingkungan. Tidak cukup hanya arahan, tapi perlu tindakan konkret dan penegakan hukum tanpa pandang bulu,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya evaluasi terhadap aparat di lapangan, baik sipil maupun kepolisian, yang dinilai lalai atau bahkan terlibat dalam pembiaran aktivitas ilegal tersebut. Forbina, kata dia, mendorong agar ada investigasi independen untuk mengungkap pihak-pihak yang bermain di balik tambang ilegal tersebut.
“Kita bicara soal keberlanjutan kota. Jika ini dibiarkan, dampaknya bukan hanya pada lingkungan, tapi juga akan mematikan iklim investasi yang sehat di Aceh,” katanya.
Dalam konteks yang lebih luas, Muhammad Nur menilai bahwa tambang ilegal kerap menjadi “ladang basah” bagi aktor-aktor tak bertanggung jawab, baik dari kalangan swasta maupun oknum aparat. Ia meminta agar seluruh stakeholder bersatu menolak praktik-praktik seperti ini demi masa depan pembangunan yang bersih dan beretika.
“Ini menjadi ujian bagi komitmen kita terhadap hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik. Jangan sampai Banda Aceh menjadi contoh buruk karena ketidakberanian menindak pelanggar aturan,” pungkasnya.