Calon Tunggal Kepala Daerah Dinilai Menciderai Demokrasi
Font: Ukuran: - +
Reporter : Ratnalia
Tgk. Akmal Abzal, S.HI. [Foto: dokumen untuk Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Aceh - Beredarnya daftar calon tunggal pasangan kepala daerah untuk pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota di Aceh pada November mendatang dinilai sangat menciderai semangat demokrasi yang sesungguhnya. Demikian disampaikan oleh Tgk. Akmal Abzal, S.HI, mantan penyelenggara KIP Aceh dan aktivis kepemiluan.
"Berbagai perjuangan telah dilakukan pra dan pasca reformasi, namun praktek dan semangat reformasi menuju demokrasi pro rakyat kian terabaikan," ujar Akmal Abzal kepada wartawan Dialeksis.com, Selasa (3/9/2024).
Menurut Akmal, praktek transaksional telah menjadi penyangga utama dalam pemilu ke pemilu di Indonesia. Akibatnya, sumber daya manusia di internal partai, tokoh-tokoh publik yang memiliki massa, hingga birokrat bersih dan akademisi terbaik tidak mudah mendapatkan tiket menuju kepemimpinan.
"Siapa yang punya kuasa dan kemapanan materil, terhampar karpet merah untuk mereka. Selebihnya akan menjadi penonton kendati telah berjasa banyak untuk partai," tegasnya.
Khusus untuk Aceh, Akmal menyoroti adanya pasangan calon yang mendaftar tunggal. Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa hak partisipasi rakyat yang ingin memilih pemimpin terbaiknya telah dimonopoli bahkan dikudeta oleh elit partai.
"Bagaimana bisa puluhan partai pemilik suara dan kursi di DPRK bisa mandul dalam mengusung calon kepala daerah? Apakah mereka lupa atau sengaja lupa bahwa orientasi partai adalah perjuangan aspirasi rakyat dan kepentingan rakyat sangat tergantung pada kepemimpinan daerah?" tanyanya.
Akmal memperingatkan bahwa jika calon kepala daerah tunggal ini terpilih, sangat berpotensi menimbulkan monopoli dan otoritarianisme. Pasalnya, legislatif di parlemen adalah tim sukses dan pendukung utamanya.
"Kontrol dewan atas kebijakan kepala daerah akan dianggap sebagai formalitas semata dan ini sangat tidak baik untuk pembangunan daerah," jelasnya.
Lebih lanjut, Akmal menyayangkan kondisi politik di Aceh saat ini. Menurutnya, idealnya Aceh sebagai lokomotif demokrasi modern karena adanya partai lokal, mampu melahirkan kompetitor-kompetitor handal yang mempromosikan kader dan tokoh-tokoh Aceh baru pasca damai dan bencana tsunami.
"Namun sangat miris kita ikuti perkembangan Aceh terkini, SDM kita bagai menghilang, tokoh-tokoh publik bak tenggelam dan kader partai bagaikan penonton," ungkapnya.
Akmal menutup pernyataannya dengan pertanyaan retoris, "Akan ke mana Aceh ke depan, jika pemimpin negeri ini berada di bawah kualitas rakyat yang dipimpinnya? November nanti akan terjawab." [ra]