Dinamika Pemilihan Presiden RI, Sorotan Media Asing dan Tantangan Penyelidikan
Font: Ukuran: - +
Media asal Hong Kong, South China Morning Post, Foto: net
DIALEKSIS.COM | Nasional - Dinamika seputar pemilihan presiden (pilpres) Republik Indonesia terus menjadi sorotan media asing, termasuk hasil pemilu yang digelar pada 14 Februari lalu.
Hingga saat ini, berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) dan real count dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, nomor urut 2, hampir dipastikan akan memenangkan kontestasi tersebut.
Namun, seperti halnya dalam pemilu-pemilu sebelumnya, isu kecurangan kembali mencuat pada tahun ini.
Media dari Hong Kong, South China Morning Post, menyoroti bagaimana partai pendukung rival Prabowo dari kubu calon nomor 1, Anies Baswedan, dan nomor 3, Ganjar Pranowo, di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merencanakan Hak Angket, sebuah hak DPR untuk melakukan penyelidikan.
Para analis tidak yakin sebanyak apa partai yang berencana melanjutkan penyelidikan ini. Hal ini terutama terjadi ketika beberapa dari mereka berusaha untuk bersekutu dengan Prabowo saat ia membentuk koalisi yang berkuasa.
Berdasarkan hasil hitung cepat yang tidak resmi pada tanggal 14 Februari, Menteri Pertahanan Prabowo memperoleh hampir 60% suara, unggul signifikan atas dua kandidat lainnya: Anies Baswedan, mantan Gubernur Jakarta, dan Ganjar Pranowo, mantan Gubernur Jawa Tengah.
Keberhasilan Prabowo dalam pemilu sebagian besar disebabkan oleh dukungan yang diduga ia terima dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sangat populer. Prabowo menunjuk putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai pasangannya.
Saat hasil resmi pemilu dijadwalkan diumumkan pada 20 Maret, seruan untuk melakukan penyelidikan atas dugaan kecurangan pemilu semakin meningkat, yang dipicu oleh tuduhan intimidasi pemilih serta penyalahgunaan sumber daya pemerintah untuk mendukung Prabowo.
Peneliti politik dari Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), Nicky Fahrizal, menyatakan bahwa penyelidikan tidak akan ditujukan pada dugaan penyimpangan pada hari pemungutan suara, tetapi sebelum pemungutan suara.
"Hak angket parlemen ditujukan khusus pada kondisi yang terjadi sebelum pemilu. Hal ini mencakup isu-isu seperti netralitas polisi, tentara, dan pejabat negara," paparnya dalam artikel berjudul 'Will Indonesia's Prabowo Face Pre-Election Fraud Investigation - Or Could Party Jockeying Save Him?', yang dikutip pada Rabu (6/3/2024).
"Selain itu, hal ini juga membahas apakah ada kontestan pemilu yang mendapat manfaat dari sumber daya negara atau disponsori oleh negara."
Setidaknya lima partai yang bersekutu dengan Anies dan Ganjar telah mengeluarkan pernyataan untuk menyelidiki apa yang mereka anggap sebagai kecurangan yang "terstruktur, sistematis, dan masif" dalam proses pemilu. Partai yang meminta penyelidikan tersebut memiliki mayoritas tipis, yaitu 54%.
Meskipun hasil investigasi tidak dapat membatalkan hasil pemilu, hal ini bisa menjadi alat yang kuat untuk menyerang Jokowi atas peran yang ia mainkan selama pemilu.
"Tujuan investigasi kecurangan pemilu adalah untuk menilai bagaimana pemerintah menghabiskan uang sebelum hari pemilu," kata Wasisto Raharjo Jati, analis politik pada Badan Riset dan Inovasi Nasional yang berbasis di Jakarta.
"Jika penyelidikan ini benar-benar dilakukan, maka partai-partai tersebut akan memiliki kekuatan dan pengaruh yang lebih besar untuk mengkritik atau memakzulkan Jokowi."
Meski memiliki mayoritas dan dapat digunakan sebagai alat untuk menyerang Jokowi, Nicky dari CSIS menyebut pihak-pihak yang berharap untuk melancarkan penyelidikan harus menunjukkan kesatuan dan menolak tekanan dari kekuasaan eksekutif. Jika tidak, Hak Angket dapat berakhir dengan sia-sia.
"Jika tidak, mereka akan menghadapi kesulitan besar dalam menjalankan Hak Angket DPR, terutama pada tahap pemakzulan," paparnya.