DIALEKSIS.COM | Aceh - Pengamat Politik, Hukum, dan Pemerintahan, Dr. Wiratmadinata, S.H., M.H., menegaskan bahwa jabatan sebagai anggota legislatif tidak memberikan kekebalan hukum (impunitas) terhadap proses penyelidikan atau penegakan hukum yang sah. Menurutnya, hak imunitas yang dimiliki oleh pejabat parlemen bersifat terbatas dan tidak bisa dijadikan tameng atas perbuatan melawan hukum, terutama dalam kasus korupsi.
“Imunitas itu bukan impunitas. Ini dua hal yang berbeda secara prinsipil. Imunitas bersifat fungsional, hanya berlaku dalam konteks tugas-tugas kelembagaan di forum resmi parlemen. Namun ketika seseorang berstatus legislator lalu terlibat dalam dugaan tindak pidana, seperti korupsi, maka tidak ada alasan hukum untuk membentengi diri dari proses penyelidikan,” tegas Dr. Wiratmadinata kepada Dialeksis saat dihubungi, Senin (14/7/2025).
Ia menanggapi berbagai peristiwa belakangan ini, di mana sejumlah penyelidikan aparat penegak hukum terhadap dugaan korupsi pembangunan proyek di Aceh kerap diwarnai isu tekanan politik, bahkan muncul pernyataan dari kalangan parlemen yang seolah membela oknum tertentu dari jerat hukum.
Menurutnya, kondisi ini mencerminkan masih adanya pemahaman keliru tentang fungsi dan batasan imunitas parlemen. Ia menekankan bahwa prinsip dasar negara hukum adalah semua warga negara setara di hadapan hukum, tanpa memandang status jabatan.
“Kalau ada anggota dewan yang menggunakan posisinya untuk mencampuri proses hukum, bahkan mencoba memengaruhi penyidikan aparat, maka itu bentuk penyalahgunaan wewenang sekaligus pelecehan terhadap prinsip check and balances, Contohnya, tindakan mempersulit proses penegakan hukum dapat dikategorikan sebagai obstruction of justice. Istilah ini juga dikenal dalam hukum pidana Indonesia dan telah diatur dalam KUHP. Bentuknya beragam, namun pada intinya merujuk pada segala tindakan yang bertujuan menghalangi jalannya proses penegakan hukum,” jelasnya merincikan.
Dr. Wiratmadinata menyebut, sejumlah kasus besar di tingkat nasional seharusnya menjadi pelajaran bahwa jabatan tidak bisa melindungi siapa pun dari proses hukum. Ia mencontohkan kasus Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI, yang divonis 15 tahun penjara karena korupsi proyek e-KTP senilai triliunan rupiah. Meskipun menjabat sebagai pimpinan lembaga legislatif tertinggi, ia tetap diproses hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kasus lainnya adalah Azis Syamsuddin, mantan Wakil Ketua DPR dari Partai Golkar, yang juga dijatuhi hukuman penjara karena terlibat dalam dugaan suap penanganan perkara di Lampung Tengah. Proses hukum terhadap Azis menunjukkan bahwa otoritas hukum tetap bisa menyentuh aktor politik meski berada dalam lingkar kekuasaan.
Tak hanya di tingkat pusat, sejumlah anggota DPRD di berbagai daerah juga banyak yang terjerat kasus korupsi, seperti yang terjadi dalam kasus suap APBD Jambi yang melibatkan anggota DPRD setempat. Bahkan Mahkamah Agung sempat menyampaikan bahwa perkara korupsi yang melibatkan anggota legislatif daerah terus mengalami tren meningkat dari tahun ke tahun.
“Ini fakta hukum yang tak terbantahkan. Kalau elite parlemen seperti Ketua DPR dan Wakil Ketua DPR saja bisa dihukum, apalagi di tingkat bawah. Jadi berhentilah membangun kesan bahwa status anggota dewan itu semacam tameng hukum. Itu keliru dan menyesatkan,” kata Wiratmadinata.
Wiratmadinata menilai, penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan, harus dijamin bebas dari intervensi politik. Justru di sinilah pentingnya komitmen parlemen dalam memperkuat lembaga hukum, bukan sebaliknya membangun opini atau tekanan yang mengaburkan proses hukum.
“Anggota dewan seharusnya menjadi teladan dalam kepatuhan terhadap hukum, bukan seolah-olah menjadi pelindung bagi pelanggar hukum. Jika ada dugaan pelanggaran, biarkan prosesnya berjalan sesuai prosedur hukum. Tugas kita adalah memastikan tidak ada yang kebal hukum,” tegasnya lagi.
Lebih lanjut, ia menyarankan agar publik diberikan pemahaman yang utuh bahwa status pejabat publik tidak bisa menjadi alasan untuk menghindar dari tanggung jawab hukum. Apalagi dalam konteks pemberantasan korupsi, seluruh lapisan masyarakat, termasuk legislator, harus ikut mendorong transparansi dan akuntabilitas.
“Korupsi adalah musuh bersama. Maka siapa pun yang terlibat, apakah itu pejabat eksekutif, legislatif, atau pihak swasta, harus bertanggung jawab secara hukum. Tidak ada yang istimewa di hadapan hukum,” pungkasnya Ketua FKPT Aceh (Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme) Aceh.