kip lhok
Beranda / Politik dan Hukum / Drama Pilgub Aceh: Penundaan Paripurna dan Polemik Syarat Pencalonan

Drama Pilgub Aceh: Penundaan Paripurna dan Polemik Syarat Pencalonan

Kamis, 19 September 2024 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : ARN
Dr H Ahmad Farhan Hamid Ma. [Foto: net]

DIALEKSIS.COM | Aceh - Pilgub Aceh kembali diwarnai drama politik setelah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menunda rapat paripurna penandatanganan komitmen MoU Helsinki oleh calon gubernur Bustami Hamzah. Penundaan ini memicu perdebatan tentang interpretasi syarat pencalonan di kalangan tokoh politik Aceh.

Penundaan rapat paripurna pada Rabu (18/9/2024) disebabkan dua faktor. Pertama, Bustami Hamzah belum memiliki wakil gubernur sepeninggal Tu Sop. Kedua, rapat Badan Musyawarah (Banmus) DPRA yang digelar malam sebelumnya batal karena tidak memenuhi kuorum.

Menanggapi situasi ini, Dr. Ahmad Farhan Hamid, mantan Wakil Ketua MPR RI periode 2009-2014, angkat bicara. 

"Pasal 24 ayat (e) tidak mengharuskan penandatanganan di depan DPRA dan tidak spesifik menyebut MoU Helsinki dan UU No 11/2006," ujarnya kepada Dialeksis.com, Kamis (19/9/2024).

Farhan Hamid memperingatkan bahwa upaya memaksa pasangan Bustami-Fadhil tetap berstatus Belum Memenuhi Syarat (BMS) bisa mencoreng nama baik KIP Aceh. 

"Akan memalukan lembaga terhormat KIP Aceh jika ada upaya mendorong agar pasangan Bus-Fadhil tetap BMS untuk seterusnya," tegasnya.

Tokoh Aceh ini menyarankan agar cukup dibuat surat pernyataan atau Pakta Integritas sesuai ketentuan Pasal 24 ayat (e), yang ditandatangani di atas materai. Ia optimis pasangan Bustami-Fadhil akan lolos verifikasi. 

"Kalau ada gangguan yang disengaja, perkiraan saya pasangan Bus - Fadhil tetap lolos. Tentu dengan daya dorong tertentu. Posisinya tentu pasangan 'teraniaya'," tambahnya. 

Seperti diketahui, pasangan yang "teraniaya" akan mendapat simpati rakyat lebih besar. Itulah perilaku politik bangsa kita.

Polemik ini kata Dr Farhan membuktikan ketidakpastian dalam proses Pilgub Aceh. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk mematuhi prosedur formal. Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa formalitas berlebihan bisa menghambat proses demokrasi.

Sementara itu, KIP Aceh belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait situasi ini. Masyarakat Aceh kini menanti langkah selanjutnya dari DPRA dan KIP dalam menyelesaikan kebuntuan politik ini. [arn]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda