DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dua puluh tahun setelah Perjanjian Damai Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia ditandatangani pada 15 Agustus 2005, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna, mengingatkan bahwa Aceh belum sepenuhnya menikmati perdamaian yang sejati.
Menurutnya, kondisi saat ini masih jauh dari apa yang disebut positive peace atau perdamaian positif.
“Kata kuncinya, tidak ada perdamaian tanpa keadilan dan kesejahteraan. Yang terjadi hari ini sesungguhnya adalah penundaan terhadap krisis yang lebih besar,” tegas Husna kepada wartawan dialeksis.com, Jumat, 8 Agustus 2025.
Ia menilai, meskipun suara tembakan telah lama menghilang, masyarakat Aceh masih menghadapi bentuk-bentuk kekerasan yang lebih halus mulai dari eksploitasi sumber daya alam, pembungkaman informasi, hingga pengerahan aparat ke desa-desa.
"Tidak ada senjata, tapi sumber daya dikeruk, masyarakat direpresi, suara dibungkam. Maka kita sedang menunggu krisis yang lebih besar,” ujarnya.
Azharul Husna menggambarkan kondisi Aceh sekarang sebagai perdamaian autopilot, situasi di mana tidak ada pertempuran terbuka, tetapi juga minim upaya serius untuk membangun kesejahteraan dan memperbaiki institusi.
Ia mengingatkan bahaya regulasi nasional seperti revisi UU Polri, UU TNI, UU ITE, dan UU Penyiaran yang dapat mempersempit ruang demokrasi.
“Jangan kira Aceh kebal hanya karena punya status otonomi khusus. Aceh masih bagian dari Indonesia, dan setiap kebijakan nasional berdampak langsung ke sini,” katanya.
KontraS Aceh menilai mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tidak berjalan baik, baik jalur judicial (pengadilan) maupun non-judicial (Komisi Kebenaran).
“Sampai hari ini, tidak ada satu pun kasus pelanggaran HAM masa lalu yang diproses tuntas di pengadilan. Jalur non-judicial pun mandek, anggaran minim, dan proses pengambilan pernyataan korban terhambat,” ungkap Husna.
Dari 100 ribu perkiraan total korban, baru sekitar 6 ribu yang berhasil diambil keterangannya. “Belum 10 persen. Itu pun kebanyakan berkat bantuan lembaga masyarakat sipil, bukan anggaran pemerintah,” tambahnya.
Ia menyoroti kelemahan program reparasi, seperti Peraturan Gubernur Aceh Nomor 245 Tahun 2022 yang memberikan kompensasi uang Rp10 juta per korban.
"Bagi korban kekerasan seksual atau yang masih menyimpan peluru di tubuhnya, Rp10 juta tidak cukup. Pemulihan harus berbasis kebutuhan,” ujarnya.
Ia memperingatkan ancaman penulisan ulang sejarah yang berpotensi memutarbalikkan fakta pelanggaran HAM di Aceh. “Tiga dari 12 kasus pelanggaran HAM berat nasional berasal dari Aceh. Jangan sampai sejarah kita dibengkokkan,” katanya.
Ia berharap kepada pemerintahan Aceh saat ini yang dipimpin oleh Muzakir Manaf (Mualem), mantan petinggi GAM untuk menekan Jakarta agar bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM di Aceh.
"PP HAM baru mengakui tiga kasus, sementara hampir setiap jengkal tanah Aceh punya cerita darah korban. Ini momen kita untuk memastikan perdamaian Aceh tidak sekadar catatan sejarah, tetapi nyata dirasakan semua orang,” tutupnya.