DIALEKSIS.COM | Blangpidie - Maraknya aktivitas galian C ilegal di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) kembali menimbulkan tanda tanya besar tentang keberanian aparat penegak hukum (APH) dalam menegakkan aturan.
Lembaga Swadaya Masyarakat Koalisi Masyarakat Pejuang Keadilan (LSM KOMPAK) menilai praktik ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap amanah konstitusi serta rasa keadilan masyarakat.
Koordinator LSM KOMPAK, Saharuddin, mengungkapkan bahwa praktik tambang ilegal di Aceh sudah lama menjadi rahasia umum. Temuan Panitia Khusus (Pansus) DPRA bahkan pernah mengungkap keberadaan lebih dari 1.000 unit excavator (Beko) yang beroperasi di tambang emas ilegal, dengan dugaan setoran mencapai Rp360 miliar per tahun kepada oknum aparat.
“Di Abdya, masyarakat sudah berkali-kali dihebohkan dengan aktivitas tambang emas ilegal di Alue Rimung, Blang Dalam, Krueng Sapi, hingga Sungai Ie Mirah. Namun sampai hari ini tidak ada satu pun excavator yang diamankan. Lalu, di mana komitmen Kapolres dan Kasat Reskrim dalam menegakkan hukum?” tegas Saharuddin, Kamis (2/10/2025).
Ia menambahkan, hukum seharusnya hadir untuk melindungi rakyat dan lingkungan hidup. Namun realitas di lapangan justru menunjukkan sebaliknya: aparat diam, bahkan laporan masyarakat kerap bocor kepada pihak yang dilaporkan.
“Baru-baru ini kami melaporkan galian C ilegal di Desa Kuta Jeumpa. Anehnya, bukan ditindak, justru pihak rekanan yang kami laporkan tahu dan menghubungi saya berkali-kali. Ini memperlihatkan hukum seolah-olah hanya dipakai sebagai alat kompromi, bukan untuk menegakkan keadilan,” kritiknya.
Saharuddin menegaskan, aktivitas galian C ilegal jelas melanggar Pasal 158 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, yang mengatur bahwa setiap orang yang menambang tanpa izin dapat dipidana penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
Namun ia mengingatkan, penegakan hukum tidak boleh berhenti pada teks undang-undang semata. Dalam semangat hukum progresif, aparat wajib berani menembus sekat formalitas demi kepentingan yang lebih besar: melindungi lingkungan, menyelamatkan generasi mendatang, serta memastikan kekayaan alam dikelola untuk kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945.
“Kalau hukum hanya dijalankan dengan kacamata sempit prosedural, tambang ilegal akan terus merajalela. Penegakan hukum progresif menuntut keberanian aparat untuk memutus mata rantai mafia tambang. Bila Kapolres dan Kasat Reskrim tidak mampu, maka Ditreskrimsus Polda Aceh harus segera turun tangan,” pungkasnya. [*]