DIALEKSIS.COM | Jakarta - Anggota DPR RI Komisi V Fraksi PKS, Ghufran Zainal Abidin, mengajukan dua paket besar usulan program strategis kepada pemerintah pusat untuk dimasukkan dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026.
Langkah tersebut menjadi bagian dari upaya memperkuat infrastruktur Aceh, khususnya di wilayah Subulussalam, yang selama ini dinilai tertinggal dalam aksesibilitas dan layanan dasar pembangunan.
Usulan itu ditujukan ke dua kementerian sekaligus, yaitu Kementerian Perhubungan serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dengan total tujuh program prioritas yang dirancang sebagai intervensi strategis untuk pembangunan Aceh bagian selatan.
Pada 18 November 2025, Ghufran mengirimkan surat bernomor 44/GF/DPR-RI/XI/2025 kepada Kementerian Perhubungan. Dalam surat tersebut, ia memasukkan tiga program prioritas sektor transportasi yang menurutnya sangat mendesak untuk direalisasikan.
Pertama, pembangunan Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) Kota Subulussalam dengan usulan anggaran sebesar Rp 4 miliar. Fasilitas ini dianggap penting untuk memastikan keselamatan dan pengawasan distribusi logistik di jalur lintas selatan.
Kedua, penyusunan DED Pengembangan Terminal Tipe A Batoh di Banda Aceh. Terminal ini diproyeksikan sebagai simpul utama angkutan antarkota dan antarprovinsi yang harus diperbarui sesuai standar pelayanan nasional.
Ketiga, studi kelayakan pelabuhan penyeberangan lintas Barat“Selatan, yang Ghufran nilai sebagai kunci penguatan konektivitas kawasan pesisir dan pintu masuk ekonomi baru di Aceh bagian barat dan selatan.
Menurutnya, ketiga usulan ini bukan hanya soal pembangunan fisik, tetapi juga menyangkut transformasi tata kelola transportasi di Aceh.
“Aspirasi masyarakat kita jelas: mereka ingin akses yang lebih cepat, layanan yang lebih aman, dan distribusi ekonomi yang tidak terhambat. Infrastruktur ini adalah syaratnya,” tegas Ghufran dalam keterangannya disampaikan kepada Dialeksis, Minggu 22 November 2025.
Ia menekankan pentingnya percepatan tindak lanjut oleh Kemenhub. “Konektivitas adalah fondasi pembangunan. Kita tidak boleh lagi membiarkan wilayah selatan dan barat Aceh berjalan tertatih hanya karena minimnya infrastruktur mobilitas,” ujarnya.
Sehari sebelumnya, 17 November 2025, Ghufran mengajukan empat usulan besar kepada Kementerian PUPR melalui surat bernomor 36/GF/DPR-RI/XI/2025, dengan total nilai Rp 210,92 miliar. Seluruhnya diarahkan untuk mempercepat pembangunan Kota Subulussalam.
Bagi Ghufran, Subulussalam membutuhkan lompatan pembangunan, bukan lagi langkah incremental. “Subulussalam selama ini hanya menjadi perlintasan. Sudah saatnya kota ini naik kelas menjadi pusat ekonomi baru. Dan itu hanya mungkin dengan intervensi infrastruktur berskala besar,” katanya.
Ia menambahkan bahwa empat program PUPR tersebut mencerminkan kebutuhan dasar: akses air bersih, peningkatan jalan nasional, penguatan irigasi, dan fasilitas publik penunjang pemukiman.
“Kita tidak bisa bicara pembangunan manusia tanpa memperbaiki fondasi infrastrukturnya,” tegasnya.
Dalam berbagai kesempatan, Ghufran kerap menekankan bahwa pembangunan fisik harus memiliki orientasi perubahan sosial. Ia menyebutkan bahwa setiap program yang diajukan bukan sekadar memenuhi daftar belanja APBN, melainkan membuka peluang ekonomi baru, memperkuat jejaring antarwilayah, serta memastikan bahwa kota-kota kecil seperti Subulussalam tidak tertinggal dari episentrum pertumbuhan di Aceh.
“Infrastruktur adalah instrumen keadilan. Ketika konektivitas membaik, akses layanan meningkat, dan biaya logistik turun, maka masyarakat di wilayah pinggiran merasakan manfaat langsungnya,” ujarnya.
Ia menilai pemerintah pusat perlu memberi perhatian lebih kepada daerah yang selama ini termarjinalkan secara pembangunan.
“Jika tidak ada keberpihakan anggaran, kita akan terus menghadapi kesenjangan antardaerah. Usulan ini adalah suara masyarakat, dan saya hanya meneruskan aspirasi mereka agar menjadi kebijakan negara,” tegasnya.
Ghufran mengakhiri suratnya kepada dua kementerian tersebut dengan harapan agar program-program tersebut segera ditindaklanjuti sebagai bagian dari kebijakan afirmatif pembangunan Aceh. Bagi dia, APBN harus menjadi instrumen percepatan, bukan sekadar rutinitas pengalokasian anggaran tahunan.
“Ini bukan sekadar proyek. Ini pondasi masa depan Aceh,” tutupnya.