Kamis, 04 September 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Indra Milwady Cs Terbukti Langgar Etik, Aktivis Perempuan Aceh Desak Proses Pidana

Indra Milwady Cs Terbukti Langgar Etik, Aktivis Perempuan Aceh Desak Proses Pidana

Rabu, 03 September 2025 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Aktivis perempuan Aceh sekaligus pengadu, Yulindawati. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) resmi menjatuhkan sanksi terhadap Ketua dan sejumlah anggota Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Kota Banda Aceh, dalam perkara dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) pada Pilkada 2024.

Sidang pembacaan putusan dengan nomor perkara 50-PKE-DKPP/I/2025 digelar di ruang sidang utama DKPP, Jakarta, Rabu (3/9/2025). 

Perkara ini diajukan oleh aktivis perempuan Aceh, Yulindawati, yang melaporkan Ketua Panwaslih Banda Aceh, Indra Miwaldi (Teradu I), serta empat anggotanya: Efendi (Teradu II), Hidayat (Teradu III), Idayani (Teradu IV), dan Ummar (Teradu V).

Dalam amar putusan, DKPP menyatakan Indra Milwady, Efendi, Hidayat, dan Ummar tidak layak menjadi penyelenggara pemilu untuk periode berikutnya. Sementara itu, anggota Panwaslih lainnya, Idayani, dijatuhi sanksi peringatan. Putusan tersebut berlaku sejak dibacakan, dan DKPP juga memerintahkan Bawaslu RI untuk mengawasi pelaksanaannya.

“DKPP mengabulkan pengaduan pengadu untuk sebagian,” ujar Ketua DKPP, Heddy Lugito, saat membacakan putusan.

Menanggapi putusan tersebut, Yulindawati menyatakan apresiasi sekaligus rasa lega. Ia menilai, keputusan DKPP ini membuktikan adanya ketidaknetralan Panwaslih Banda Aceh dalam mengawasi Pilkada 2024.

“Saya menyambut baik putusan DKPP ini yang menyatakan Panwaslih Banda Aceh bersalah. Ini membuktikan benar adanya dugaan manipulasi pemilu yang kami laporkan sejak awal. Seandainya laporan kami waktu itu ditindaklanjuti dengan benar, pasangan Illiza-Afdhal seharusnya bisa didiskualifikasi,” ujar Yulindawati kepada media dialeksis.com, Rabu (3/9/2025).

Menurutnya, Panwaslih Banda Aceh justru berperan menutupi dan menghalangi proses hukum terkait dugaan politik uang yang melibatkan pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banda Aceh Nomor Urut 1.

 Akibatnya, laporan tersebut tidak sampai ke kepolisian, dan pasangan itu tetap melenggang hingga akhirnya terpilih.

“Hari ini Panwaslih Banda Aceh terbukti bersalah dan ternodai, Ini adalah bukti nyata bahwa manipulasi politik benar-benar terjadi," ujarnya. 

Yulindawati menegaskan pihaknya tidak akan berhenti di sini. Selain melalui jalur etik di DKPP, ia berencana menindaklanjuti kasus ini dengan laporan ke aparat penegak hukum.

“Kami akan segera menindaklanjuti pelaporan unsur pidananya ke polisi. Kami berharap kepolisian netral dalam penanganan ini dan tidak bermain-main, baik dalam kasus OTT maupun perkara pidana terkait penghilangan barang bukti saat Pilkada lalu,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan adanya ketentuan hukum yang jelas terkait politik uang dalam Pilkada. Berdasarkan Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, pasangan calon yang terbukti melakukan politik uang harus didiskualifikasi.

Selain itu, Pasal 187 huruf A UU yang sama mengatur ancaman hukuman penjara hingga enam tahun bagi pelaku.

“Artinya, kasus ini bukan sekadar pelanggaran etik, tetapi juga pidana. Penegakan hukum harus berjalan tegas agar praktik kotor dalam demokrasi bisa dihentikan,” tambah Yulindawati.

Kasus ini menjadi catatan penting bagi perjalanan demokrasi di Aceh. Putusan DKPP tidak hanya menyoroti lemahnya pengawasan penyelenggara pemilu, tetapi juga membuka kembali luka lama tentang dugaan praktik kecurangan dalam Pilkada Banda Aceh 2024.

"Kalau penyelenggara tidak netral, maka rakyatlah yang dirugikan. Demokrasi menjadi cacat dan hasil pemilu tidak lagi mencerminkan suara rakyat, melainkan hasil manipulasi,” tutupnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
pelantikan padam
sekwan - polda
damai -esdm
bpka