DIALEKSIS.COM | Aceh - Media Dialeksis sebagai media yang meliput sejak awal dinamika menjelang Musda ke - XII Partai Golkar Aceh menyajikan secara khusus kepada para pembaca tentang siapa saja yang menolak dan terbuka terhadap diskresi. Dialeksis sebagai media yang peduli terhadap pembelajaran politik bagi masyarakat tidak bosan - bosan menyajikan informasi sekaligus edukasi politik ini. Mari disimak liputannya.
Dinamika menjelang Musyawarah Daerah (Musda) Partai Golkar Aceh ke - XII semakin memanas dan menarik perhatian publik. Ketidakpastian jadwal Musda yang terus bergeser tanpa kepastian, ditambah isu pencalonan ketua dari luar kader, menjadi sorotan utama. Para kader murni Partai Golkar kini bergerilya menggalang dukungan, sementara di sisi lain ada figur eksternal yang dikabarkan tengah melobi DPP Partai Golkar untuk memperoleh diskresi dari Ketua Umum agar dapat ikut bertarung dalam bursa ketua DPD I Golkar Aceh.
Mayoritas kader senior Golkar Aceh menilai wacana calon dari luar kader dapat melemahkan soliditas dan konsolidasi internal partai. Penolakan keras datang dari berbagai tokoh, di antaranya dari dataran tinggi Aceh ada Aramiko Aritonang, mantan Anggota DPRA dari Fraksi Partai Golkar.
Saya mencium gerak-gerik pihak eksternal yang ingin merusak proses kaderisasi di tubuh Golkar Aceh. Menjadi bakal calon saja sudah kami tolak,” tegas Aramiko (25/4/2025).
Aramiko menegaskan bahwa dalam sejarah Golkar Aceh, jabatan Ketua DPD I selalu dipegang kader internal. Hal serupa disuarakan oleh Wakil Ketua DPD I Partai Golkar Aceh, Ahmad Haeqal Asri.
Ia menilai bahwa keputusan Munas, sebagai forum tertinggi partai, tidak mungkin dibatalkan oleh juklak (petunjuk pelaksana) yang hanya diputuskan dalam rapat pleno DPP.
“Diskresi itu hanya untuk situasi tertentu bagi kader, bukan untuk menggugurkan ketentuan normatif dalam AD/ART partai,” jelas Haeqal (24/6/2025).
Haeqal memberi contoh, diskresi biasanya hanya digunakan dalam kondisi khusus, misalnya untuk kader yang tidak memenuhi syarat pendidikan formal atau sudah menjabat dua periode namun masih dipandang layak memimpin.
Nama-nama lain yang tegas menolak calon eksternal adalah Teuku Raja Keumangan (TRK)-Bupati Nagan Raya, Ali Basrah (DPRA), Iskandar (anggota DPR Aceh dari Simeulue), dan Khalid S.Pdi (Anggota DPRA/Ketua AMPI Aceh), Islamuddin (Kader Golkar senior, mantan Ketua wantim DPD II Sabang, mantan Wakil Bendahara DPD I Golkar Aceh. Walikota Sabang 2007 - 2012).
TRK menilai, AD/ART Golkar tidak memberi ruang bagi non - kader untuk menjadi calon ketua. “Tolak secara tegas calon dari luar kader,” tegasnya (15/7/2025).
Khalid menyebut langkah mendukung calon eksternal adalah sikap naif.
“Golkar partai terbuka, siapa pun bisa jadi anggota. Tapi berharap langsung jadi ketua tanpa proses kaderisasi, itu naif,” ujarnya.
Iqbal Piyeung (Ketua Kadin Aceh) yang juga kader senior Golkar Aceh pun angkat suara. Ia mengingatkan bahwa langkah ini justru akan melemahkan semangat kaderisasi yang sudah dibangun puluhan tahun. Pernyataan senada datang dari Mukris Jumadi (Ketua AMPG Kota Langsa) yang menilai bahwa wacana ini mengkhianati mekanisme kaderisasi.
Menariknya ada pandangan tajam dari akademisi. Katanya diskresi bukan untuk menghancurkan kaderisasi. Akademisi Dr. Teuku Kemal Pasya (Unimal) menegaskan bahwa Pasal 34 ART Golkar jelas menyebutkan diskresi Ketua Umum hanya untuk tiga hal yaitu kebijakan strategis, mengatasi kebuntuan organisasi, dan menjaga keutuhan partai. Diskresi tidak otomatis memberi wewenang mendukung non-kader menjadi calon ketua DPD I.
Jika jabatan strategis ini diberikan pada orang luar hanya demi kepentingan Pilkada, maka itu membunuh proses kaderisasi yang telah lama dibangun, tegas Dosen Politik ini.
Akademisi dari USK Dr. Zainal Abidin yang juga mantan anggota KIP Aceh, menambahkan bahwa Golkar adalah partai kader, bukan partai transaksional.
Siapa pun bisa berkontribusi, tapi harus melalui proses kaderisasi, bukan sekadar membeli jabatan karena kepentingan politik jangka pendek, ujar Dosen Fakultas Hukum itu.
Meski mayoritas menolak, ada juga kader Golkar Aceh yang mendukung diskresi bagi figur eksternal. Mantan Sekretaris DPD Golkar Aceh, Syukri Musa SH MKn, menyebut diskresi sebagai instrumen strategis untuk mengakomodir figur potensial. Ia mencontohkan nama Bustami Hamzah, yang dianggap mampu membawa “efek ekor jas” pasca Pilkada 2024.
Aidil Fitri alias Petty (Ketua Harian AMPG Aceh) juga berpendapat bahwa Golkar adalah partai terbuka.
Siapa pun bisa mencalonkan diri sebagai ketua dengan syarat mendapat persetujuan Ketua Umum. Ini bentuk profesionalisme dan keterbukaan Golkar, kata Aidil.
Qamaruzzaman Haqny, kader senior Golkar, menilai pemberian diskresi bukanlah hal baru. Ia mengingatkan bahwa dulu Ilham Pangestu, yang berasal dari Partai Gerindra, juga pernah mendapatkan diskresi untuk maju sebagai Ketua Golkar Kota Langsa.
Menariknya ada catatan dari wartawan senior di Media yang mengatakan Diskresi adalah “Senjata Khusus”.
Bukhari M Ali, wartawan senior Serambi Indonesia, dalam tulisan Kupi Beungoh berjudul “Musda Golkar, Om Bus dan Diskresi”, menegaskan bahwa diskresi dari Ketua Umum adalah hak prerogatif yang hanya diberikan kepada figur yang dianggap cakap dan pantas.
Biasanya calon yang mendapat diskresi adalah mereka yang akhirnya memenangkan pertarungan,tulis Bukhari.
Dalam polemik diskresi ini memperlihatkan dua arus besar dalam tubuh Golkar Aceh, yang pertama arus kaderisasi yaitu mereka yang menolak calon eksternal dan berpegang teguh pada prinsip regenerasi partai. Golkar Aceh, menurut mereka, tidak kekurangan stok kader mumpuni. Dari berbagai sisi ada Kader Golkar yang beprestasi pada Pemilu dan Pilkada 2024 yang lalu. Ada 3 anggota DPR RI, 9 Anggota DPR Aceh, dan 3 Bupati. Mereka adalah para pejuang partai yang berjibaku membesarkan Golkar di Aceh.
Yang kedua ada kalangan arus elektabilitas. Kubu pendukung diskresi menilai bahwa politik adalah soal kemenangan. Jika ada figur eksternal yang punya daya tarik elektoral tinggi, kenapa tidak diakomodir ? Begitu praktis dan sederhana cara berfikirnya.
Konfrontasi wacana ini adalah bagian dari dinamika politik menjelang Musda XII. Di satu sisi, kaderisasi adalah fondasi kekuatan partai. Namun di sisi lain, realitas politik memaksa partai membuka diri terhadap figur “pasar” yang dinilai punya peluang besar untuk memenangkan kontestasi politik di 2025 - 2030.
Pertarungan ide antara loyalis kaderisasi dan pendukung diskresi akan semakin memanas seiring mendekatnya Musda Golkar Aceh. Diskresi Ketua Umum jelas menjadi kartu truf yang bisa mengubah peta dukungan secara drastis. Siapapun yang berhasil mengantongi diskresi, biasanya akan mendapat dukungan penuh dari pusat dan sejarah membuktikan, calon tersebut hampir selalu keluar sebagai pemenang.
Kini, publik dan kader hanya bisa menunggu. Apakah Golkar Aceh tetap kokoh dengan prinsip kaderisasi, atau justru memilih pragmatisme politik lewat diskresi ? Jawabannya akan terungkap dalam Musda XII yang penuh intrik ini.[]