DIALEKSIS.COM | Aceh Tamiang - Pendidikan politik bukan lagi sekadar ruang diskusi ideologi, melainkan arena pembekalan strategi untuk menghadapi zaman baru di era politik digital.
Hal itu ditegaskan oleh Dr. Tengku Muhammad Sahudra, S.Pd., M.Pd., M.Si, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Samudra, saat menjadi pemateri dalam kegiatan Pendidikan Politik bagi Kader Partai Aceh tahun 2025 dengan tema Pendidikan Politik untuk Pemimpin Masa Depan di Aula Desa Teluk Kemiri, Kecamatan Bendahara, pada Senin (6/10/2025).
Dalam paparannya yang bertajuk Strategi Penggunaan Media Digital sebagai Salah Satu Sarana Komunikasi Politik untuk Pemenangan Pemilu, Dr. Sahudra menekankan bahwa politik masa kini telah bertransformasi dari panggung orasi menjadi arena komunikasi digital yang dinamis dan terbuka.
“Politik modern berusaha memaksimalkan peran pelaku politik dalam berinteraksi dengan masyarakat melalui berbagai media. Di era sekarang, media digital adalah panggung utama tempat opini publik dibentuk,” ujar Dr. Sahudra.
Mengutip ucapan Albert Einstein, “Politik lebih sulit daripada fisika,” Dr. Sahudra menggambarkan bahwa kompleksitas dunia politik hari ini menuntut kecerdasan komunikasi dan kepekaan sosial yang tinggi.
Bagi para kader Partai Aceh, lanjutnya, tantangan itu semakin besar karena masyarakat kini lebih kritis dan selektif terhadap informasi politik yang mereka konsumsi, terutama di media sosial.
“Politisi modern harus mampu menelaah hal-hal di sekitarnya dan mengubahnya menjadi pesan politik yang bermakna. Strateginya tidak bisa sekadar berbicara, tetapi harus terukur dan berpengaruh pada elektabilitas,” ujarnya.
Dr. Sahudra kemudian menjelaskan kerangka klasik dari Harold D. Lasswell tentang komunikasi politik, Who says what, in which channel, to whom, and with what effect.
Menurutnya, empat unsur ini tetap relevan di era digital, hanya saja medianya telah berubah dari podium dan koran menjadi layar gawai dan linimasa media sosial.
“Pesan politik yang dikemas secara positif dan disampaikan dengan inovatif melalui blog, website, atau media sosial akan lebih mudah menjangkau masyarakat luas. Tim komunikasi politik pun harus mencerminkan karakter calon yang diusung. Jangan sampai pesan yang keluar tidak sejalan dengan citra diri yang ingin dibangun," ujarnya.
Sebagai contoh, ia menyebut bagaimana Barack Obama meraih sekitar 30 persen suara melalui strategi media digital, dan bagaimana Joko Widodo memanfaatkan platform YouTube serta gim daring untuk memperkuat citranya sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat.
“Obama adalah presiden kulit hitam pertama di Amerika karena strategi komunikasinya yang modern dan humanis. Begitu juga Jokowi, yang waktu itu menggunakan cara-cara kreatif seperti video game Angry Bird versi Jokowi,” katanya sambil tersenyum.
Meski demikian, Dr. Sahudra juga mengingatkan bahwa dunia digital memiliki tantangan tersendiri. Ia menyebutnya sebagai rimba maya, tempat di mana batas sosial memudar dan regulasi formal nyaris tak ada selain Undang-Undang ITE.
“Di media sosial tidak ada pejabat atau rakyat, semua setara. Tapi di sisi lain, tidak ada jaminan etika. Karena itu caleg dan kader harus paham cara bermedia, bukan sekadar aktif posting,” tegasnya.
Ia menyoroti empat kesalahan fatal yang sering dilakukan politisi di media sosial yaitu menyebarkan atau ikut membagikan berita hoaks. Terjebak dalam debat atau balas-membalas kritik. Menggunakan diksi kasar yang merusak citra. Melakukan serangan pribadi atau psywar terhadap pengguna lain.
“Sekali Anda menebar hoaks atau menanggapi kritik dengan emosional, publik akan menilai Anda sebagai sosok tidak matang. Politik digital menuntut kecerdasan emosional yang tinggi,” ujarnya.
Lebih jauh, Dr. Sahudra menjelaskan bahwa branding pribadi dan konsistensi adalah kunci membentuk opini publik yang positif.
Ia mencontohkan bagaimana sosok-sosok seperti Haji Uma dikenal luas bukan karena sensasi, melainkan karena konsistensi dan kedekatannya dengan masyarakat di media sosial.
“Opini publik terbentuk dari sikap, cara, dan pola Anda menggunakan media sosial. Orang akan mengenal Anda bukan dari satu postingan, tapi dari konsistensi Anda setiap hari,” jelasnya.
Ia menambahkan, kader partai sebaiknya fokus membangun komunikasi di wilayah atau daerah pemilihannya sendiri, bukan mencari perhatian nasional yang justru tidak relevan.
“Kuasai wilayah Anda bermedsos. Fokuslah pada masyarakat yang memilih Anda. Rawat ketokohan, mantapkan kelembagaan politik, ciptakan kebersamaan, dan bangun konsensus,” pesan Dr. Sahudra di akhir sesi. [nh]