DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Praktisi hukum dan pengacara senior, Kasibun Daulay, menanggapi serius proses pemeriksaan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terhadap Ketua dan anggota Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Kota Banda Aceh terkait penanganan laporan dugaan politik uang dalam Pilkada Banda Aceh 2024.
Kasus ini mencuat setelah seorang warga, Yulindawati, melaporkan dugaan praktik politik uang yang diduga dilakukan oleh tim kampanye pasangan calon Illiza Afdhal. Dalam laporannya, Yulindawati mengaku menyerahkan sejumlah bukti, termasuk video rekaman penyerahan uang tunai sebesar Rp200 ribu. Namun, laporan tersebut tidak ditindaklanjuti dengan proses yang memadai, dan lebih lanjut, disebutkan bahwa barang bukti uang tunai sebesar Rp18 juta yang sempat disita hilang di tangan Panwaslih Banda Aceh.
Menanggapi hal ini, Kasibun Daulay menegaskan pentingnya transparansi dan integritas dalam proses pengawasan pemilu.
“Transparansi dan profesionalitas adalah prinsip mutlak. Laporan masyarakat, apalagi dengan bukti konkret, tidak boleh diperlakukan dengan sembarangan. Ini menyangkut kepercayaan publik terhadap proses demokrasi,” ujar Kasibun kepada Dialeksis saat dihubungi, Minggu (20/07/2025).
Ia menekankan bahwa kegagalan menindaklanjuti laporan atau kehilangan barang bukti menunjukkan adanya kelemahan sistemik dalam penegakan hukum pemilu yang harus segera dibenahi.
“Kalau barang bukti bisa hilang begitu saja, ini bukan hanya kelalaian administratif. Ada potensi pidana yang harus ditelusuri,” tegasnya.
Kasibun menjelaskan, kehilangan barang bukti dalam proses hukum bukan masalah sepele. “Kehilangan barang bukti di tangan Panwaslih dapat memiliki dampak hukum yang serius, termasuk potensi pidana bagi oknum yang bertanggung jawab dan mempengaruhi proses hukum yang sedang berjalan. Ini bukan sekadar kesalahan teknis,” ujarnya.
Ia merinci sejumlah dampak hukum yang mungkin timbul, jika kehilangan barang bukti disebabkan oleh kesengajaan atau kelalaian, maka pihak yang bertanggung jawab bisa dijerat pidana, antara lain berdasarkan Pasal 233 KUHP tentang perusakan atau penghilangan barang bukti. Ancaman hukumannya mencakup pidana penjara, denda, atau keduanya.
Dalam konteks barang bukti elektronik seperti video, pelaku juga bisa dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jika terbukti sengaja merusak atau menghilangkan data digital.
Selain itu Kasibun menjelaskan lebih lanjut, hilangnya barang bukti bisa menjadi penghambat dalam pembuktian perkara, bahkan berpotensi membelokkan arah putusan pengadilan.
“Jika bukti yang hilang adalah kunci dari sebuah perkara, maka sangat mungkin hasil putusan pengadilan menjadi tidak adil atau menyimpang dari kebenaran materiil,” ujar Kasibun.
Dalam sejumlah kasus, kehilangan barang bukti dapat menunda persidangan, memperlemah posisi hukum pelapor, atau bahkan membuat kasus dihentikan karena tidak cukup alat bukti.
Kasibun mengingatkan bahwa regulasi seperti Perbawaslu No. 9 Tahun 2024 memang mengatur soal kelengkapan administratif dalam laporan, tetapi bukan berarti substansi laporan dapat diabaikan.
“Formalisme hukum tidak boleh mengorbankan keadilan. Jika Panwaslih menolak laporan hanya karena syarat teknis tanpa menyentuh substansi pelanggaran, itu bentuk pengingkaran terhadap fungsi pengawasan,” tandasnya.
Ia berharap DKPP tidak hanya memproses perkara etik ini secara administratif, tetapi juga membuka ruang evaluasi mendalam terhadap kapasitas dan integritas lembaga pengawas pemilu di daerah.
“Proses DKPP ini penting bukan hanya untuk memberikan sanksi, tetapi juga sebagai pembelajaran dan peringatan keras bagi semua pihak,” ujar Kasibun.
Sebagai penutup, Kasibun Daulay menyampaikan seruan agar Panwaslih dan jajaran penyelenggara pemilu lainnya memperbaiki sistem internal dan pengelolaan barang bukti secara profesional.
“Jika kepercayaan publik hilang karena keteledoran seperti ini, maka kita sedang merusak jantung demokrasi kita sendiri,” ucapnya.
Ia menyarankan agar penyimpanan barang bukti dilakukan secara terstandar dan diaudit secara berkala oleh lembaga independen. Di saat yang sama, publik juga didorong untuk terus kritis dan aktif dalam mengawal pemilu bersih.