DIALEKSIS.COM | Aceh - Wacana penghapusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) kembali mencuat seiring kritik bahwa persyaratan administratif ini dinilai menghambat hak asasi mantan narapidana dan melanggengkan stigma negatif.
Merespon polemik itu Kasibun Daulay, SH, praktisi hukum dan pengacara senior, menegaskan bahwa SKCK kerap menjadi penghalang utama reintegrasi sosial mantan narapidana ke dunia kerja, bahkan memicu lingkaran residivisme (pengulangan tindak pidana).
“Banyak mantan narapidana kembali terjerat hukum karena mereka sulit mendapatkan pekerjaan. SKCK yang mencantumkan catatan kriminal masa lalu, meski mereka telah menjalani hukuman, membuat masa depan mereka tertutup. Ini seperti hukuman seumur hidup,” tegas Kasibun dalam komentarnya dengan Dialeksis.com, Jumat (28/03).
Data yang dihimpun lembaga pemantau hukum menunjukkan bahwa 60% mantan narapidana kesulitan mengakses lapangan kerja formal akibat persyaratan SKCK. Alhasil, sebagian besar terpaksa kembali ke lingkungan kriminal untuk bertahan hidup.
“Mereka merasa dikutuk dua kali: dihukum penjara, lalu ditolak masyarakat. Ini bertentangan dengan prinsip pemidanaan yang bertujuan rehabilitasi, bukan balas dendam,” tambah Daulay.
Kasibun menilai SKCK melanggar prinsip keadilan restoratif. “SKCK justru menciptakan hambatan sistematis bagi mantan narapidana untuk hidup layak. Padahal, UU Pemasyarakatan menjamin hak mereka untuk direintegrasi,” paparnya.
Ia mendorong pemerintah mengganti SKCK dengan sistem verifikasi yang lebih komprehensif, seperti pelacakan perilaku pascabebas atau pendampingan oleh lembaga rehabilitasi.
Namun, penghapusan SKCK tidak bisa dilakukan gegabah. “Ini perlu kajian ilmiah mendalam. Harus ada analisis risiko: bagaimana menjamin keamanan publik tanpa mengorbankan hak asasi?” tegas Kasibun.
Ia mengusulkan pembentukan tim gabungan ahli kriminologi, akademisi, dan praktisi hukum untuk menimbang plus-minus penghapusan SKCK.
“Jika hasil kajian membuktikan dampak positif lebih dominan, pemerintah wajib bertindak. Keputusan harus berbasis data, bukan emosi, hal lain patut dipertimbangkan misalkan SKCK masih diperlukan untuk pekerjaan sensitif, seperti keuangan atau pengasuhan anak. Tapi untuk sektor informal atau UMKM, persyaratan ini bisa dilonggarkan” tegasnya.
Pemerintah diharap segera merespons polemik ini. “Kami mendorong dialog terbuka antara Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian, serta masyarakat sipil. Kebijakan harus adil: melindungi publik, tapi juga memberi ruang kedua bagi yang ingin bertobat,” tutup Kasibun Daulay. [ar]