Kebijakan Afirmatif 30 Persen, Perempuan Bebas Memilih Peran di Pemilu
Font: Ukuran: - +
Reporter : Auliana Rizky
Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KIP Aceh, Ahmad Mirza Safwandy. [Foto: dok. pribadi untuk Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Politik - Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu momen penting dalam sistem demokrasi di negara Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah melakukan upaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam proses pemilihan. Di tengah persiapan Pemilu 2024, peran perempuan semakin diakui dan didorong untuk turut serta aktif dalam penyelenggaraan pemilihan umum.
Peran perempuan dalam pemilu tentu bukan hanya sebagai pemilih saja, tetapi bagaimana bisa berkiprah, baik sebagai penyelenggara pemilu maupun peserta pemilu. Sejumlah regulasi sudah mendukung kiprah perempuan dalam Pemilu, yang artinya tinggal dukungan sejumlah pihak untuk mengimplementasikannya.
Dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mengatur bahwa partai politik harus menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat dan di tingkat daerah. Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 245 diatur bahwa Daftar Calon Legislatif yang diajukan oleh Partai Politik memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Mestinya dengan dukungan regulasi tersebut lebih banyak perempuan yang berkiprah di parlemen.
Dengan adanya keterwakilan perempuan yang lebih tinggi dalam lembaga parlemen, kepentingan dan perspektif perempuan dapat lebih diperhatikan dan diwakili dalam proses pengambilan keputusan politik. Partisipasi perempuan yang aktif juga dapat memperkaya wacana politik dengan sudut pandang yang beragam, menghasilkan keputusan yang lebih inklusif dan representatif bagi seluruh masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Ahmad Mirza Safwandy mengatakan, peran perempuan dalam Pemilu 2024 harus melampaui kepentingan prosedural 30 persen demi terwujudnya kesetaraan dalam Pemilu yang akan datang.
"Peran perempuan dalam Pemilu nanti juga harusnya melampaui 30 persen yang sudah disebutkan, hal ini demi terwujudnya kesetaraan dan berkeadilan," ucapnya saat diwawancarai Dialeksis.com, Kamis (5/10/2023).
Sebut Mirza, hal ini disebabkan bahwa jaminan terhadap kesetaraan dalam Pemilu diwujudkan dengan suatu kebijakan afirmatif sehingga perempuan dengan bebas dan adil memilih peran apakah sebagai penyelenggara, peserta, pemantau, relawan, pengurus partai politik, dan bahkan menjadi ibu atau istri bagi pendidikan politik dalam keluarga.
"Ini suatu kebijakan afirmatif sehingga nanti ia bebas pilih, apa mau jadi penyelenggara, pemantau, bahkan pengurus partai politik," tutupnya. [AU]