Kejati Selidiki Dugaan Mark-Up dan Anggaran Fiktif di BGP Aceh Kerugian Rp75 Miliar
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Kasi Penerangan Hukum Kejati Aceh, Ali Rasab Lubis, S.H. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh tengah melakukan penyidikan terkait dugaan korupsi dalam pengelolaan anggaran di Balai Guru Penggerak (BGP) Aceh untuk tahun anggaran 2022-2023.
Dugaan korupsi ini melibatkan dana sebesar lebih dari Rp75 miliar yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Berdasarkan pemeriksaan awal, anggaran yang dicairkan sebesar Rp18,4 miliar pada tahun 2022 dan Rp57,1 miliar pada tahun 2023 diduga digunakan secara tidak tepat, dengan indikasi mark-up, kegiatan fiktif, dan aliran dana kepada pihak-pihak tertentu yang berpotensi menyebabkan kerugian negara yang masih dalam penghitungan oleh auditor.
Kasi Penerangan Hukum Kejati Aceh, Ali Rasab Lubis, S.H., menjelaskan bahwa modus yang teridentifikasi dalam dugaan korupsi ini tidak hanya terbatas pada mark-up atau belanja fiktif, tetapi juga adanya indikasi penggunaan anggaran yang menyimpang dari tujuan program yang telah direncanakan.
“Modus-modus seperti ini diduga bukan hanya terjadi di BGP Aceh, namun juga dilakukan oleh beberapa unit kerja, satuan kerja, atau lembaga lain di wilayah Aceh,” ungkap Ali Rasab dalam keterangan kepada Dialeksis.com, Kamis (31/10/2024).
Ali menambahkan bahwa korupsi di sektor pendidikan membawa dampak besar terhadap masyarakat.
Korupsi menggerus anggaran yang sejatinya dialokasikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 Amandemen Ke-4 Ayat 4, yang menyatakan bahwa negara wajib menyediakan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari total APBN dan APBD.
Dalam konteks pendidikan, anggaran ini diharapkan dapat meningkatkan pemberdayaan dan pengembangan tenaga pendidik, termasuk calon kepala sekolah, kepala sekolah, dan pengawas sekolah di seluruh provinsi.
Namun, dugaan korupsi di BGP Aceh justru merampas kesempatan para pendidik dan siswa untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang memadai.
"Korupsi sektor pendidikan seperti ini berpotensi meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan, mencederai legitimasi pemimpin lembaga pendidikan, serta merusak kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Pendidikan yang bermutu tidak mungkin dicapai jika anggarannya diselewengkan,” tegas Ali.
Dalam penyidikan ini, Kejati Aceh telah melakukan langkah-langkah mendalam untuk mengumpulkan bukti.
"Tim penyidik kami telah melakukan serangkaian tindakan di 23 kabupaten/kota di Aceh, tempat berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh BGP Aceh. Dari sana, penyidik berhasil mengidentifikasi calon-calon tersangka yang diduga terlibat dalam kasus ini,” lanjut Ali.
Lebih dari 200 saksi, yang terdiri dari pegawai dan staf BGP Aceh serta pihak ketiga terkait kegiatan yang dilaksanakan oleh BGP Aceh, telah diperiksa.
Ali menjelaskan bahwa kesaksian mereka memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan perkara.
“Setiap saksi yang kami periksa menjadi bagian penting dalam membangun gambaran utuh tentang bagaimana dugaan korupsi ini berlangsung,” ujarnya.
BGP, yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 14 Tahun 2022, bertujuan untuk memberdayakan dan mengembangkan kompetensi tenaga pendidik dan kependidikan di berbagai daerah, termasuk Aceh.
Balai ini juga memiliki peran penting dalam persiapan tenaga kependidikan yang berkualitas demi menunjang mutu pendidikan nasional.
Namun, dugaan penyelewengan anggaran di BGP Aceh mengancam tujuan besar tersebut. Anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk memperkuat sektor pendidikan justru terindikasi disalahgunakan, menodai fungsi mulia BGP dalam upaya meningkatkan kualitas tenaga pendidik.
Kejati Aceh berharap agar tindakan penyidikan ini bisa menjadi peringatan bagi unit kerja, satuan kerja, dinas, dan lembaga lain untuk mengelola anggaran pendidikan dengan lebih bijak dan sesuai ketentuan.
“Kami sangat berharap, melalui kasus ini, pengelolaan anggaran di sektor pendidikan dapat dijalankan lebih transparan dan akuntabel ke depan. Kami juga mengajak seluruh masyarakat Aceh untuk mendukung upaya kami dalam memberantas korupsi di bumi Serambi Mekah,” ujar Ali Rasab.
Kejati Aceh terus berupaya melibatkan masyarakat agar turut mengawasi penggunaan anggaran negara, khususnya di sektor pendidikan.
Ali menegaskan bahwa dukungan masyarakat sangat penting untuk memastikan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi berjalan dengan efektif.
Dampak dari korupsi ini tidak hanya terbatas pada aspek finansial tetapi juga pada psikologis dan sosial masyarakat. Ketika publik kehilangan kepercayaan terhadap lembaga pendidikan, maka pendidikan sebagai pilar penting pembangunan bangsa terancam runtuh.
"Akibat dari korupsi ini jauh lebih dalam dari sekadar kehilangan uang negara. Ini adalah ancaman langsung terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan berkualitas," pungkas Ali. [nh]