kip lhok
Beranda / Politik dan Hukum / Keluarga Korban HAM Ajak Evaluasi Rekam Jejak Calon di Pilpres 2024

Keluarga Korban HAM Ajak Evaluasi Rekam Jejak Calon di Pilpres 2024

Jum`at, 26 Januari 2024 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Diskusi publik Menolak Lupa Kasus Pelanggaran HAM Berat dan Demokrasi di Yogyakarta. (Foto: MPI/Erfan)


DIALEKSIS.COM | Nasional - Keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) mengajak rakyat Indonesia untuk lebih teliti dalam mengevaluasi rekam jejak calon presiden dan wakil presiden sebelum menentukan pilihan di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Tujuan ajakan ini adalah untuk mencegah kemungkinan negara dipimpin oleh mereka yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Suciwati, istri almarhum Munir, salah satu korban pelanggaran HAM, menyoroti pentingnya rekam jejak untuk menghindari peristiwa serupa terulang.

Ia mengungkapkan keprihatinannya, terutama jika pelaku pelanggaran HAM tersebut memegang posisi presiden, mempertanyakan nasib korban-korban pelanggaran HAM berat di masa depan.

"Saya merasa tak punya masa depan dan berdosa melahirkan anak," ujar Suciwati dalam Road Show Diskusi Publik Menolak Lupa Kasus Pelanggaran HAM Berat dan Demokrasi di Ndalem Kanoman Suryamatjan Yogyakarta, Kamis (24/1/2024) malam.

Suciwati menyampaikan keprihatinannya bahwa jika pelaku pelanggar HAM tersebut menjadi presiden, upaya mungkin dilakukan untuk menghapus fakta-fakta pembunuhan di berbagai kasus, termasuk di Aceh, Talangsari, dan Trisakti. Dosa pelanggar HAM tersebut mungkin dihapus, dan kasus-kasus pelanggaran HAM ditutup begitu saja.

"Ikatan keluarga korban berharap agar negara tidak dipimpin oleh penjahat HAM. Kita harus bersatu dan menolak," teriak istri pendiri Kontras ini.

Sejumlah kasus pelanggaran HAM berat, termasuk Tragedi Semanggi 1-2, Tragedi Trisakti, Kerusuhan Mei 1998, Penculikan Paksa Aktivis 1997-1998, Peristiwa Tanjung Priok, Petrus, Peristiwa Talangsari 1989, Kasus Wasior (2001) dan Wamena (2003), Peristiwa Abepura (2001), hingga Peristiwa Simpang KKA Aceh (1999) dan Peristiwa Jambu Keupok Aceh (2003), menjadi fokus perhatian.

Almarhum Munir, sebagai tokoh perlawanan, mendirikan Kontras untuk mengadvokasi korban pelanggaran HAM berat. Ia juga mencetuskan aksi Kamisan sebagai bentuk perlawanan dan penyuaran kegelisahan masyarakat.

Suciwati mengungkapkan keheranannya terkait kurangnya upaya pembentukan pengadilan HAM ad hoc, meskipun DPR RI telah meminta penyelesaian segera terhadap kasus penculikan paksa. Ia menilai ketidakberanian pemerintah untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc menyulitkan proses hukum.

Pentingnya menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia diakui sebagai isu krusial, terutama dalam dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Namun, kegagalan penuntasan kasus secara berkeadilan dan kehadiran pelanggar HAM dalam pemerintahan menjadi sorotan.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda