DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Transparansi Tender Indonesia (TTI) mempertanyakan komitmen antikorupsi yang baru saja ditandatangani oleh Pemerintah Aceh dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta pada 5 Mei 2025. Penandatanganan tersebut dilakukan oleh Gubernur Aceh dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Koordinator TTI, Nasruddin Bahar, menilai komitmen tersebut tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Ia menyebut, banyak paket pengadaan barang di berbagai dinas justru dikuasai oleh anggota dewan melalui skema Pokok Pikiran (Pokir).
“Terlihat sangat jelas intervensi pemilik Pokir. Paket-paket seperti di Dinas Pendidikan, DLH, Distanbun, dan hampir semua SKPA sudah dikapling,” ujar Nasruddin, Minggu (29/6/2025).
Menurutnya, rekanan yang tidak memiliki hubungan atau "link" dengan anggota dewan nyaris tidak memiliki peluang mendapatkan proyek.
“Jangan berharap dapat proyek jika tidak ada komitmen dengan pemilik Pokir. Banyak rekanan gigit jari karena tidak punya akses,” katanya.
Nasruddin juga menyesalkan sikap para legislator yang lebih mengutamakan keuntungan pribadi ketimbang kepentingan publik.
“Sangat disayangkan, para wakil rakyat tidak mempertimbangkan mana proyek yang menjadi prioritas dan penting untuk hajat hidup orang banyak. Asalkan dapat cuan, semua dianggap beres,” kritiknya.
Ia meminta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) untuk meninjau ulang seluruh usulan Pokir anggota dewan, bahkan jika perlu, mencoretnya dan mengusulkan kembali dalam APBA Perubahan dengan kegiatan yang benar-benar bermanfaat langsung bagi masyarakat.
TTI juga mendesak KPK untuk turun langsung ke Aceh dan menjalankan fungsi pencegahan korupsi secara serius.
“Sebetulnya sangat mudah bagi aparat penegak hukum untuk menyelidiki paket-paket Pokir. KPK juga sudah memiliki daftar nama pemilik Pokir. Masyarakat sangat berharap KPK, Kejati, dan Polda Aceh bekerja secara serius agar praktik kotor ini tidak terus berulang setiap tahun,” ujarnya.
Nasruddin juga mengendus adanya indikasi keterlibatan oknum aparat penegak hukum (APH) yang justru ikut mendapatkan bagian dari paket-paket di dinas.
“Banyak pengadaan barang dan jasa dilakukan melalui metode e-purchasing atau e-katalog. KPA dan calon penyedia sangat mudah berkompromi karena prosesnya sederhana,” jelasnya.
Ia menambahkan, informasi yang berkembang di masyarakat menyebutkan bahwa paket-paket Pokir bernilai ratusan miliar rupiah dijual kepada rekanan dengan harga bervariasi, antara 25 hingga 30 persen dari nilai proyek.
“Modusnya seperti biasa, setiap anggota dewan menunjuk koordinator yang menjadi perantara antara rekanan dengan PPK atau KPA. Bila kesepakatan tercapai, rekanan diperkenalkan kepada pejabat pelaksana, lalu komitmen terjadi,” ungkap Nasruddin.
Ia menyayangkan dana publik dalam jumlah besar justru habis untuk praktik seperti ini.
“Ratusan miliar dana masyarakat menguap percuma. Tidak heran jika Aceh masih menyandang status sebagai provinsi termiskin di Sumatera,” pungkasnya.