Selasa, 17 Juni 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Konten Kreator Bongkar Dugaan Politik Balas Dendam Pusat ke Aceh Lewat Empat Pulau

Konten Kreator Bongkar Dugaan Politik Balas Dendam Pusat ke Aceh Lewat Empat Pulau

Selasa, 17 Juni 2025 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Fathian Puja Kesuma, seorang Konten Kretor sedang mengulas polemik sengketa empat pulau bersama Aceh dan Sumut dalam media sosial Instagram. Foto: Tangkapan layar]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sengketa pengalihan empat pulau milik Aceh ke Sumatera Utara kembali memantik perdebatan panas di ruang publik. 

Di tengah riuh wacana pemetaan wilayah dan tafsir hukum administrasi, seorang konten kreator muda bernama Fathian Puja Kesuma angkat bicara melalui akun media sosialnya, mengulas secara tajam dan gamblang bahwa persoalan ini jauh lebih dalam daripada sekadar masalah batas wilayah.

Empat pulau strategis yang dimaksud adalah Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang -- pulau-pulau kecil yang selama ini diyakini berada di wilayah Aceh Singkil, namun melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) secara tiba-tiba digeser ke Provinsi Sumatera Utara.

“Ini bukan soal Bobby. Ini cerita panjang tentang bagaimana Aceh dihukum secara politik,” ungkap Fathian dalam video reels-nya yang viral dilansir media dialeksis.com, Selasa (17/6/2025).

Menurut Fathian, peristiwa ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik nasional, khususnya sejak Pilpres 2019, di mana pasangan Prabowo-Sandi menang telak di Aceh dengan perolehan suara mencapai 86 persen, sementara Joko Widodo-Ma’ruf Amin hanya meraih 14 persen. 

Bagi Fathian, ini adalah sinyal bahwa Aceh tidak mengikuti arus nasional -- dan karenanya, "sulit diatur" dari perspektif pusat kekuasaan.

“Aceh tidak patuh pada tren nasional, dan itu dianggap sebagai bentuk pembangkangan politik. Empat pulau itu, menurut saya, bukan hilang karena faktor teknis atau kesalahan pemetaan. Tapi karena ada yang marah,” tegas Fathian.

Ia mengungkap bahwa Tito Karnavian, sebagai Mendagri pada masa itu dan juga orang dekat Presiden Jokowi, mengeluarkan Kepmendagri yang secara administratif memindahkan keempat pulau tersebut ke Sumut. 

Hal ini, menurutnya, bukan keputusan sembarangan, melainkan sebagai bentuk sanksi tak tertulis terhadap Aceh.

Fathian menambahkan, keuntungan terbesar dari pergeseran wilayah ini justru dinikmati oleh Sumatera Utara. Saat itu, Gubernur Edy Rahmayadi menerima keputusan tersebut tanpa resistensi.

“Pulau-pulau itu strategis banget. Langsung menghadap ke laut lepas, sumber daya ikan banyak, bisa dikembangkan jadi kawasan pelabuhan atau wisata bahari. Jadi ini investasi jangka panjang,” terang Fathian.

Menurutnya, keputusan ini seperti hadiah politik bagi Sumatera Utara yang dianggap lebih patuh kepada kebijakan pusat, sekaligus "hukuman simbolik" untuk Aceh yang dianggap bandel secara politik.

Fathian melanjutkan, sikap Aceh tetap konsisten bahkan dalam Pilpres 2024. Lagi-lagi provinsi ini memilih calon presiden yang berbeda dari kehendak pusat. Anies Baswedan menang telak di Aceh, sementara Prabowo Subianto kali ini dengan dukungan Jokowi justru kalah telak.

“Aceh kirim pesan lagi: kami masih sama, kami masih beda. Kami masih ngeyel,” tutur Fathian.

Kini, dengan Bobby Nasution, menantu Presiden Jokowi, menjadi Gubernur Sumatera Utara, Fathian menyebut kemungkinan untuk mengembalikan empat pulau itu ke Aceh menjadi sangat kecil.

“Sudah pasti dia tidak akan kembalikan. Bukan karena dia rakus, tapi karena dia meneruskan narasi simbolik kekuasaan. Ini cara menunjukkan siapa yang berkuasa atas siapa. Empat pulau hilang, bukan karena tsunami. Tapi karena ada yang marah. Pertanyaannya sekarang: siapa wilayah selanjutnya yang akan ‘dihukum’?," tutupnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
dpra