Sabtu, 07 Juni 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Mantan Karo Hukum Setda Aceh: Empat Pulau Direbut Sumut Berpotensi Besar Dikembalikan

Mantan Karo Hukum Setda Aceh: Empat Pulau Direbut Sumut Berpotensi Besar Dikembalikan

Selasa, 03 Juni 2025 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Mantan Kepala Biro Hukum Setda Aceh periode 2018-2023, Dr. Amrizal J Prang. Foto: dok Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Mantan Kepala Biro Hukum Setda Aceh periode 2018-2023, Dr. Amrizal J Prang, angkat bicara terkait alih kepemilikan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil yang kini tercatat masuk ke wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), Sumatera Utara.

Keempat pulau yang dimaksud adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek.

"Ketika saya masih menjabat sebagai Kepala Biro Hukum di Pemerintah Aceh, memang pernah beberapa kali dilakukan pertemuan dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk klarifikasi bahwa keempat pulau tersebut masuk ke dalam wilayah Aceh," ujarnya saat ditemui Dialeksis, Selasa (3/6/2025).

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh itu menilai, terdapat sejumlah faktor yang menjadi kekuatan sekaligus peluang bagi Pemerintah Aceh untuk mengupayakan kembali status keempat pulau tersebut.

Menurutnya, secara teknis, persoalan ini bermula dari kekeliruan dalam penentuan titik koordinat keempat pulau oleh Pemerintah Aceh kala itu.

"Isu soal pulau ini sebenarnya sudah mencuat sejak 2008. Permasalahan bermula ketika terjadi kesalahan dalam penentuan titik koordinat yang kemudian disampaikan ke pemerintah pusat. Di situlah awal mula masalahnya," jelasnya.

Namun, lanjutnya, Pemerintah Aceh telah melakukan klarifikasi terkait hal tersebut. Ia sendiri turut terlibat dalam proses klarifikasi bersama Kepala Biro Tata Pemerintahan Aceh.

"Kami menyampaikan bahwa secara administrasi, seluruh alat bukti yang diserahkan Pemerintah Aceh lengkap dan jelas menunjukkan bahwa wilayah tersebut berada di dalam administrasi Aceh," ujarnya.

Oleh karena itu, secara administratif, ia menilai seharusnya Kemendagri dapat mengubah Surat Keputusan (SK) penetapan wilayah kepulauan tersebut.

"Jika secara teknis sudah diklarifikasi ada kekeliruan, dan secara administratif alat bukti sudah dilengkapi, maka SK itu seharusnya bisa diubah," katanya.

Dari sisi hukum, Amrizal menambahkan, setiap produk hukum termasuk surat keputusan, umumnya memuat klausul yang menyatakan bahwa jika terdapat kekeliruan, maka akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.

"Itu artinya, ruang untuk perbaikan ada. Seharusnya, ruang itu bisa dimanfaatkan oleh pemerintah Aceh dan pemerintah pusat, khususnya Kemendagri," tegasnya.

Ia melanjutkan, pendekatan hukum, administrasi, teknis, dan politik perlu dilakukan secara paralel untuk menyelesaikan persoalan ini.

"Apalagi sejak 1992 sudah dinyatakan bahwa keempat pulau itu masuk dalam wilayah Aceh. Pihak-pihak terkait juga sudah turun ke lapangan," ungkapnya.

Selain bukti dokumen, kata Amrizal, keberadaan masyarakat yang sudah bertahun-tahun bermukim di sana juga merupakan bukti tambahan yang kuat.

"Ini sudah berlangsung cukup lama. Dari 2008 hingga 2025, artinya ini soal waktu dan political will pemerintah pusat saja untuk mengembalikan wilayah itu ke Aceh," katanya.

Menurutnya, pendekatan politik sangat diperlukan. Seluruh elemen masyarakat Aceh, baik di Aceh maupun Jakarta, perlu memberikan dukungan agar proses pengembalian ini bisa berjalan.

"Harus ada upaya serius dari Pemerintah Aceh untuk melakukan pendekatan kepada pemerintah pusat, agar pengembalian wilayah ini dapat terealisasi," katanya.

Ia juga berharap Presiden dapat memanggil Gubernur Aceh, atau sebaliknya, agar ada komunikasi langsung antara pimpinan pusat dan daerah.

"Karena faktanya, proses administrasi dan teknis sudah dilakukan berkali-kali, bahkan melibatkan topografi, masyarakat, dan unsur pemerintahan," ujarnya.

Amrizal menilai, jika empat pendekatan teknis, administratif, hukum, dan politik dijalankan secara sinergis, maka peluang untuk pengembalian keempat pulau itu akan semakin terbuka.

"Intinya di sini adalah political will pemerintah pusat. Jika ada kemauan politik, keempat pulau itu bisa kembali ke Aceh dan hubungan harmonis antar daerah bisa terjaga," ujarnya.

Saat ditanya apakah sudah ada indikasi keinginan pemerintah pusat untuk mengembalikannya, Amrizal menjawab bahwa sejumlah pertemuan sebelumnya menunjukkan adanya niat tersebut.

"Buktinya, sudah beberapa kali dilakukan fasilitasi oleh Kemendagri untuk mengonfirmasi bahwa keempat pulau itu masuk wilayah Aceh. Namun, apakah hasil pertemuan itu betul-betul ditindaklanjuti? Ini yang menjadi pertanyaan," tuturnya.

Menurutnya, jika SK yang berlaku masih belum berubah hingga kini, maka perlu dipertanyakan apa alasan di balik hal tersebut.

"Apa kekurangannya secara administrasi sampai belum juga bisa dikembalikan? Padahal, saat beberapa kali pertemuan, semua bukti sudah disampaikan. Bahkan sebagian besar pihak mengakui bahwa keempat pulau itu milik Aceh. Semua itu ada juga dokumentasinya di Biro Tata Pemerintahan Setda Aceh," ujarnya.

Menanggapi informasi bahwa persoalan keempat pulau tersebut sudah didaftarkan ke PBB, Amrizal menyebut hal itu patut dipertanyakan secara hukum.

"Karena pada dasarnya, SK Kemendagri yang sudah ada itu pun bisa direvisi jika memang terbukti ada kekeliruan. Terlebih, SK penetapan pulau-pulau di Indonesia itu mengalami perubahan setiap tahun," jelasnya.

Ia menambahkan, perubahan SK kerap dilakukan untuk menyesuaikan data baru, seperti adanya pulau yang baru ditemukan atau pulau yang hilang.

"Ini menunjukkan bahwa SK penetapan wilayah pulau bersifat dinamis. Maka, menjadi pertanyaan besar jika sampai hari ini keempat pulau itu belum juga dikembalikan ke Aceh," tegasnya.

Menurut Amrizal, potensi pengembalian masih terbuka jika komunikasi politik antara Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat dijalin dengan baik.

"Asalkan para pemimpin di pusat dan daerah bertemu dan ada political will, saya yakin posisi keempat pulau ini bisa dikembalikan ke Aceh," pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI