Kamis, 14 Agustus 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Mawardi Ismail: Banyak Poin UUPA Wajib Diubah Termasuk Soal Zakat

Mawardi Ismail: Banyak Poin UUPA Wajib Diubah Termasuk Soal Zakat

Selasa, 12 Agustus 2025 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Mawardi Ismail, salah satu tim ahli perumus draf Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) di DPRD Aceh tahun 2006. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Mawardi Ismail, salah satu tim ahli perumus draf Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) di DPRD Aceh tahun 2006 mendorong urgensi memasukkan ketentuan zakat sebagai pengurang pajak ke dalam revisi UUPA.

“Ketentuan ini tidak perlu menunggu PP lagi, karena sudah jelas di undang-undang. Tinggal kemauan politik untuk melaksanakannya,” ujarnya kepada media dialeksis.com setelah diskusi publik dengan tema Refleksi 20 Tahun Damai Aceh: Menavigasi Tantangan, Mengawal Otonomi dan Merumuskan Masa Depan di UIN Ar-raniry Banda Aceh, Selasa (12/8/2025).

Namun, setelah 20 tahun, Mawardi menilai sudah saatnya UUPA dikaji ulang. Ada poin yang terlaksana baik, ada yang berjalan tapi penuh tantangan, dan ada yang sama sekali tidak terlaksana.

“Yang tidak terlaksana itu ada dua. Pertama, memang kondisinya tidak memungkinkan, seperti pengelolaan bandara internasional. Kedua, ada yang sebenarnya wajib tapi tidak mau dilaksanakan, contohnya zakat sebagai faktor pengurang pajak penghasilan. Baru sekarang ada gerakan untuk melaksanakan itu,” katanya.

Ia menegaskan, pembahasan revisi UUPA harus memprioritaskan poin-poin yang secara hukum memang wajib diubah.

Misalnya, tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi tentang persyaratan calon gubernur, penyesuaian kewenangan Mahkamah Agung yang sudah beralih ke Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa Pilkada, serta penetapan nama Aceh yang seharusnya melalui Peraturan Pemerintah (PP), bukan Peraturan Gubernur (Pergub).

“Hal-hal ini sifatnya legalisasi, memperkuat apa yang sudah berlaku selama ini supaya kuat di mata hukum,” tegasnya.

Selain itu, ia mendorong revisi UUPA mencakup perpanjangan dana otonomi khusus, pemberian dasar hukum bagi hasil migas lepas pantai, serta penegasan kewenangan pengelolaan sumber daya alam non-migas yang hingga kini masih multitafsir.

“Sekarang ini pusat dan Aceh sama-sama merasa punya kewenangan, tapi menterinya pun beda pandangan. Menteri Dalam Negeri bilang itu kewenangan Aceh, Menteri Investasi bilang kewenangan pusat. Ini harus diperjelas,” ujarnya.

Mawardi juga menyoroti minimnya keterbukaan dalam proses pembahasan. Menurutnya, revisi UUPA seharusnya partisipatif, transparan, dan melibatkan banyak pihak.

 “Kita ini kadang tidak tahu-tahu sudah ada hasilnya. Padahal, harusnya ada monograf dan pembahasan terbuka sebelum final,” kritiknya.

Mawardi merunut singkat sejarah upaya penyelesaian konflik Aceh yang pernah dua kali bergolak: era Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

“Konflik DITII dulu pertama mau diselesaikan dengan kekerasan, gagal, akhirnya berhasil melalui Ikrar Lamteh. Tapi Ikrar Lamteh ini ada kekurangannya, karena hanya dikuatkan dengan keputusan Perdana Menteri, yang tidak punya kekuatan mengikat,” ujarnya.

Berbeda dengan itu, kata Mawardi, konflik GAM awalnya juga dihadapi dengan hard power, namun kemudian beralih ke soft power berupa negosiasi. Negosiasi itulah yang melahirkan MoU Helsinki.

“Kelebihan MoU Helsinki dibanding Ikrar Lamteh adalah dia dikuatkan dengan undang-undang, yaitu UUPA. Kalau MoU hanya instrumen politis, UUPA sudah menjadi instrumen yuridis yang punya kekuatan memaksa,” pungkasnya.[nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI