MK Hapus Presidential Threshold, Ini Reaksi Pengamat Politik Unimal
Font: Ukuran: - +
Reporter : Arn
Pengamat sekaligus dosen FISIP Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya. Foto: Bustami Ibrahim.
DIALEKSIS.COM | Lhokseumawe - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dengan putusan ini, presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi DPR resmi dihapus. Artinya, seluruh partai politik kini dapat mengajukan calon presiden tanpa batasan.
Putusan tersebut menjadi sorotan karena sebelumnya berkali-kali ditolak. Kali ini, gugatan yang diajukan oleh empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta akhirnya diterima. Mereka adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna, yang merupakan mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Hukum.
Putusan bernomor 62/PUU-XXI/2023 itu dibacakan dalam sidang pleno di gedung MK, Jakarta Pusat, pada Kamis (2/1/2025). MK menyatakan permohonan para mahasiswa tersebut dikabulkan, dengan inti putusan menghapus ambang batas pencalonan presiden.
Keputusan ini menuai respons dari Teuku Kemal Fasya, pengamat politik sekaligus dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh, menilai langkah ini tidak otomatis menciptakan sistem pemilihan presiden yang sepenuhnya demokratis.
“Penghapusan presidential threshold tidak serta-merta melahirkan sistem pemilu yang demokratis. Sebab, sistem pemilihan saja tidak cukup untuk mengubah kultur demokrasi suatu negara,” ujar Kemal sapaan akrab dirinya saat Dialeksis meminta tanggapannya.
Ia juga menyoroti fenomena politik uang dan populisme yang masih kuat dalam budaya politik Indonesia. “Kesadaran pemilih kita masih sangat terpengaruh oleh politik uang dan pencitraan populis. Hal ini berpotensi menggiring pergeseran dari representasi kepartaian ke dominasi uang dan media,” katanya.
Selain itu, Teuku Kemal mengingatkan potensi pelemahan kekuasaan presiden jika pemenang pemilu berasal dari partai dengan kekuatan kecil di parlemen. Menurutnya, hubungan legislatif dan eksekutif di Indonesia masih sangat transaksional, sehingga sulit menciptakan tata kelola pemerintahan yang benar-benar demokratis.
“Yang perlu diantisipasi adalah dampak sistem ini terhadap kekuasaan presiden. Jika pemenangnya adalah pihak yang lemah di parlemen, bisa terjadi ketegangan antara legislatif dan eksekutif. Kita sudah melihat bagaimana hubungan antar-lembaga tersebut selama ini cenderung transaksional dan belum mencerminkan demokrasi sejati,” ungkapnya.
Meski putusan ini membuka peluang lebih besar dalam kontestasi politik, Teuku Kemal menegaskan bahwa langkah ini belum tentu memperkuat representasi rakyat dalam demokrasi.