DIALEKSIS.COM | Aceh - Memoradum of Understanding (MoU) Helsinki yang menjadi tonggak perdamaian di Aceh harus senantiasa didengungkan dan dijalankan. Hal ini disampaikan oleh Sutrisno, S.Sos., M.A., seorang Dosen Hukum Tata Negara di IAIN Takengon, yang menilai bahwa menganggap remeh atau bahkan mengerdilkan MoU Helsinki adalah bentuk kegagalan dalam memahami esensi kesepakatan tersebut.
Menurut Sutrisno, mencuatnya anggapan yang meremehkan nilai MoU Helsinki atau pernyataan seperti "sedikit-sedikit MoU Helsinki" menunjukkan bahwa pihak-pihak tersebut tidak mampu menangkap ruh dan taste (rasa) dari kesepakatan perdamaian tersebut.
“Ketika bicara MoU Helsinki, itu bukan sesuatu yang tidak ada nilainya. Kalau begitu, berarti kita gagal paham dalam memahami MoU Helsinki," tegas Sutrisno, Kamis (20/11/2025) kepada dialeksis.com.
Manifestasi Kepercayaan dan Ikatan Trust
Sutrisno menjelaskan bahwa MoU Helsinki pada hakikatnya adalah manifestasi kepercayaan antara dua pihak yang berkomitmen merajut nilai kedamaian demi kepentingan bersama masyarakat Aceh. Lebih dari sekadar dokumen, MoU Helsinki adalah ikatan trust (kepercayaan) kedua belah pihak yang harus terus dijaga dan dirajut untuk keberlangsungan perdamaian di Aceh.
"Orang yang sudah tahu MoU Helsinki saja sangat mungkin tidak paham kandungan dan sejarahnya, sehingga cenderung menolak dan mengkerdilkannya, dan akhirnya mengelak untuk menjalankan apa yang sudah menjadi kesepakatan," jelasnya, menyoroti pentingnya terus mendengungkan kesepakatan tersebut.
Pemerintah Wajib Wujudkan Komitmen yang Belum Terlaksana
Bagi Sutrisno, salah satu implikasi utama dari menjaga ikatan trust ini adalah kewajiban pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk mewujudkan poin-poin yang belum terealisasi dalam kesepakatan tersebut.
Dalam konteks ini, Sutrisno memandang bahwa upaya yang dilakukan oleh anggota DPR asal pemilihan Aceh, yang terus mengingatkan mengenai MoU Helsinki, adalah bagian dari usaha untuk menjaga komitmen.
"Apa yang dilakukan oleh anggota DPR asal pemilihan Aceh adalah bagian dari usaha mengingatkan terus semua pihak di Pusat, baik itu Pemerintah maupun DPR, tentang kewajiban menjalankan komitmen yang pernah disepakati dalam MoU Helsinki," jelasnya.
Ia menambahkan, hal ini juga bertujuan agar tidak ada pihak yang lupa sejarah dan menyadari bahwa masih ada bagian dari MoU Helsinki yang perlu diwujudkan secara bersama-sama.
Mengukur Political Will Pusat
Lebih jauh, Sutrisno menyimpulkan bahwa mengingatkan terus tentang MoU Helsinki merupakan cara yang efektif untuk mengukur sejauh mana political will (kemauan politik) dari pemerintah Indonesia.
"Mengingatkan terus tentang MoU Helsinki adalah cara mengukur sejauh mana political will dari pemerintah Indonesia dan keberpihakan Pusat terhadap keberlanjutan perdamaian di Aceh melalui jalan demokrasi dan pembangunan," pungkas Sutrisno. [ra]