Senin, 16 Juni 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Nasionalisme Rakyat Aceh Tentang 4 Pulau, Akademisi: Bentuk Kecintaan Terhadap Tanah Leluhur

Nasionalisme Rakyat Aceh Tentang 4 Pulau, Akademisi: Bentuk Kecintaan Terhadap Tanah Leluhur

Minggu, 15 Juni 2025 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baim

Koordinator Program Studi Magister Damai Dan Resolusi Konflik USK, Dr. Masrizal, S.Sos.I., M.A. Foto: dok pribadi 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Persoalan empat pulau milik Aceh yang dialihkan kepemilikannya ke Provinsi Sumut telah memicu gelombang protes dari seluruh rakyat Aceh. Seluruh komponen masyarakat, dari mahasiswa, tokoh masyarakat, mantan kombatan GAM, hingga rakyat jelata bersuara lantang menolak Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2 - 2138 Tahun 2025 yang menyebutkan Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, masuk ke dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara.

Koordinator Program Studi Magister Damai Dan Resolusi Konflik USK, Dr. Masrizal, S.Sos.I., M.A, menilai respon masyarakat Aceh merupakan bentuk wujud nyata kecintaan terhadap tanah leluhur dan integritas wilayahnya.

“Aceh memiliki sejarah yang holistik, sehingga isu empat pulau ini membangkitkan rasa nasionalisme yang sangat kuat, terlebih setelah pengalaman panjang konflik masa lalu,” ujar Dr. Masrizal, di Banda Aceh, Minggu (15/6/2025). 

Ia menilai, klaim sepihak dan pernyataan-pernyataan dari pihak tertentu di Sumatera Utara, terutama oleh sejumlah anggota DPRD, telah membuka luka lama masyarakat Aceh. 

“Saat masyarakat sudah merasakan damai, tiba-tiba ada api yang coba dihidupkan oleh pusat. Inilah kenapa semangat pergerakan itu timbul kembali. Ini lah wajah Aceh yang sebenarnya,” tegasnya.

Dr. Masrizal menegaskan bahwa secara administratif, keempat pulau tersebut berada dalam wilayah Provinsi Aceh, tepatnya Kabupaten Aceh Singkil. Menurutnya, pernyataan itu bukan hanya berdasar secara historis dan kultural, tetapi juga memiliki legitimasi hukum melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).

“Dalam UUPA sudah jelas mengatur batas wilayah Aceh, termasuk keberadaan empat pulau itu. Ini momentum penting untuk menunjukkan kepada pusat bahwa Aceh tidak berdiri sendiri--masyarakat dan pemerintah daerah satu suara dalam mempertahankan kedaulatan wilayah,” ucapnya.

Ia juga mengapresiasi gerakan masyarakat sipil, terutama mahasiswa Aceh yang telah menyampaikan aspirasi melalui aksi damai di Kementerian Dalam Negeri. 

“Ini bukan semata soal pulau, tetapi simbol harga diri Aceh. Ibarat harimau yang sedang tidur, jangan diganggu. Filosofinya seperti itu,” tambahnya.

Terkait peran Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Dr. Masrizal menyebut bahwa langkah Gubernur Sumut Bobby Nasution telah menciptakan dinamika politik yang tidak produktif. Ia membandingkan dengan sikap Gubernur sebelumnya, Edy Rahmayadi, yang dinilainya lebih memahami sensitivitas masyarakat Aceh.

“Pak Edy dulu seorang tentara, beliau tahu bahwa keempat pulau itu adalah milik Aceh. Beliau tidak terpancing untuk memainkan isu ini. Beda dengan Pak Bobby yang tampaknya ingin mengambil momentum politik tanpa memahami kompleksitas historis dan kultural Aceh,” ujar Masrizal.

Ia juga mengkritisi pernyataan-pernyataan sejumlah anggota DPRD Sumut yang dinilai memperkeruh suasana. Masrizal berharap agar DPR Aceh dan DPRD Sumut justru bisa membangun komunikasi yang konstruktif untuk menghindari konflik horizontal dan menjaga stabilitas antar daerah.

“Kalau saja mereka memahami betapa dalam trauma konflik yang pernah dialami masyarakat Aceh, tentu tidak akan melontarkan pernyataan yang bisa membakar emosi,” tegasnya.

Dr. Masrizal menutup pernyataannya dengan mengajak seluruh elemen di Aceh untuk menjadikan momentum ini sebagai penguat semangat kolektif dalam menyelesaikan persoalan-persoalan lain di daerah, dengan landasan cinta tanah air dan nasionalisme Aceh yang berakar kuat dalam sejarah perjuangan bangsa.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI