Kamis, 02 Oktober 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Padam Listrik Massal di Aceh Jadi Momentum Beralih ke Energi Bersih

Padam Listrik Massal di Aceh Jadi Momentum Beralih ke Energi Bersih

Kamis, 02 Oktober 2025 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Direktur Eksekutif Yayasan Apel Green Aceh, Syukur Tadu. Dokumen untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sejak Senin sore,29 September 2025, Aceh kembali gelap. Gangguan di PLTU Nagan Raya membuat listrik padam di sejumlah kabupaten kota sejak awal pekan, dan PLN belum mampu memastikan kapan arus normal kembali. 

Direktur Eksekutif Yayasan Apel Green Aceh, Syukur Tadu, menilai insiden ini menjadi bukti nyata rapuhnya sistem ketenagalistrikan Aceh yang terlalu bergantung pada energi fosil.

Menurut Syukur, pemerintah Aceh seharusnya tidak lagi menjadikan PLTU sebagai tumpuan utama pasokan listrik. 

Ia mendesak agar pemerintah segera mengambil langkah strategis dengan mempensiunkan dini PLTU dan beralih kepada energi terbarukan yang berbasis pada potensi lokal dan masyarakat adat.

“PLTU sudah terbukti rapuh dan tidak berkelanjutan. Saatnya Aceh serius mengembangkan energi terbarukan yang membuahkan manfaat langsung bagi masyarakat adat. Potensi kita sangat besar, mulai dari mikrohidro, energi angin, hingga panas surya. Ini solusi jangka panjang yang seharusnya dipilih sejak dulu,” kata Syukur kepada wartawan dialeksis.com, Kamis (2/10/2025).

Syukur menegaskan, padamnya listrik akibat kerusakan PLTU di Nagan Raya hanyalah satu dari sekian banyak bukti bahwa energi fosil tidak bisa diandalkan untuk jangka panjang. Selain mahal dan penuh risiko, PLTU juga menimbulkan dampak lingkungan yang serius.

“Yang harus diperjelas adalah PLTU harus pensiun dini. Kita tidak bisa terus-menerus bergantung pada energi kotor. Pemerintah harus berani mengambil langkah tegas mengganti dengan energi terbarukan yang berbasis masyarakat,” ujarnya.

Menurut dia, energi mikrohidro di Aceh memiliki potensi hingga 75 MW, dan ini sangat cocok untuk daerah-daerah pedalaman yang selama ini kesulitan mendapatkan akses listrik. Selain itu, Aceh juga memiliki potensi besar pada sektor energi angin dan tenaga surya.

Lebih jauh, Syukur mendorong agar pemerintah Aceh tidak hanya mengembangkan energi terbarukan, tetapi juga memberikan ruang sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk mengelola sumber energi tersebut secara mandiri.

“Kalau kita mau ketahanan energi yang sesungguhnya, maka salah satunya dengan mendorong masyarakat memasang panel surya di atap rumah mereka. Regulasi khusus dari pemerintah Aceh sangat penting agar masyarakat bisa mandiri secara energi,” jelasnya.

Ia menilai, kebijakan energi Aceh selama ini masih terlalu sentralistik dan memberi porsi besar kepada perusahaan besar, sementara peran masyarakat adat diabaikan. Padahal, konsep ketahanan energi yang sejati harus tumbuh dari desa-desa dengan pengelolaan berbasis komunitas.

Menurut Syukur Tadu, kondisi blackout kali ini adalah alarm keras bagi pemerintah Aceh. Ia menilai insiden ini semestinya menjadi momentum politik energi untuk mempercepat transisi dari fosil ke terbarukan.

“Kalau pemerintah Aceh serius mau bicara ketahanan energi, maka jawabannya bukan lagi PLTU. Jawabannya ada pada energi surya, mikrohidro, dan angin. Semua itu bukan hanya ramah lingkungan, tapi juga memperkuat kemandirian masyarakat adat Aceh,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
bpka - maulid