DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dari 80 pasangan calon kepala daerah di Aceh, ada 6 pasangan calon yang mengajukan sengketa Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
6 pasangan calon yang mengajukan sengketa di MK berasal dari Aceh Timur, Langsa, Lhokseumawe, Bireuen dan Sabang. Dan, MK hanya mengabulkan satu sengketa Pilkada untuk melakukan Pemilihan Suara Ulang (PSU) yaitu Sabang.
Akademisi FISIP Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya menilai adanya sengketa Pilkada di MK menunjukkan denyut nadi demokrasi di Aceh sehat.
“Itu juga pertanda bahwa semua paslon berkesempatan untuk mengakses keadilan dalam politik. Soal, ada yang menempuh atau memilih tidak mengajukan ke MK hal lain,” ujarnya kepada dialeksis.com, Selasa (8/4/2025).
Tidak hanya itu, dalam pertimbangan cendikia yang pikirannya kerap dimuat di media nasional itu, adanya kesadaran Paslon untuk menempuh jalur hukum di lembaga resmi, termasuk di MK menjadi bukti bahwa dinamika Pilkada di Aceh terus membaik, dari pola kekerasan yang menimbulkan korban ke pola berkesadaran hukum.
“Nyo tanda-tanda demokrasi dan politik di Aceh makin lagak dan ceudah,” tambahnya.
Untuk diketahui, terkait perselisihan hasil Pilkada diadili di Mahkamah Konstitusi. Hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Perpu nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
Dalam UU Pilkada, sebagaimana pernah disampaikan Ahmad Mirza Safwandi dari KIP Aceh, awalnya kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa Pilkada bersifat sementara hingga dibentuk peradilan khusus.
"Namun, kemudian keluar keputusan yang menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa Pilkada bersifat permanen," kata Ahmad Mirza Safwandi, Senin (5/8/2024) lalu.
Direktur Eksekutif Jaringan Survei Inisiatif, Ratnalia Indriasari mengatakan, tidak adanya gejolak politik kekerasan dalam dan paska Pilkada 2024 di Aceh itu tidak terlepas dari kesigapan KIP Aceh dalam memitigasi sengketa dalam Pilkada serentak di Aceh.
“JSI mencermati semua proses Pilkada di Aceh yang berujung ke MK tidak terlepas dari kepiawaian teman-teman di KIP Aceh,” sebutnya.
Meski tetap ada dinamikanya, namun peran KIP Aceh dalam memandu Pilkada yang sehat sukses dilakukan.
“Dari 80 pasangan calon di seluruh Aceh bukan hanya 6 saja yang mengajukan sengketa di MK tapi juga hanya 1 yang melakukan PSU. Ini jelas ada peran KIP Aceh sehingga riuh Pilkada di Aceh tetap enak untuk diikuti tanpa tercederai hak paslon untuk mengakses keadilan politiknya, “ sebut Indri dari JSI.
Indri menyampaikan, KIP Aceh ikut memitigasi atau mengurangi dampak potensi sengketa dalam pemilihan langsung kepada daerah (pilkada) serentak di Aceh.
Buktinya, KIP Aceh pernah menggelar rapat koordinasi membahas mitigasi potensi sengketa dalam tahapan Pilkada, yang di ikuti KIP kabupaten/kota di Aceh, akademisi, dan lainnya.
Dalam rapat koordinasi tersebut dibahas beberapa potensi permasalahan yang dapat menjadi sengketa pada tahapan pencalonan pilkada, di antaranya terkait dengan syarat akumulasi perolehan suara, status mantan pelaku tindak pidana dengan hukuman 5 tahun penjara, status residivis, dan beberapa isu krusial lainnya.
Ahmad Mirza Safwandi menyatakan mitigasi potensi sengketa pada Pilkada memang penting guna pencegahan sebelum terjadinya permasalahan.
"Paling tidak bisa ditanggulangi atau paling tidak meminimalisasi terjadinya sengketa," katanya, dalam keterangan pers, Senin (5/8/2024) lalu. [arn]