Perlu Langkah Nyata Akhiri Konflik dan Ciptakan Perdamaian di Pilkada Aceh 2024
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Suasana di Rumah Calon Gubernur Aceh, Bustami Hamzah pasca granat meledak pada Senin pagi, 2 September 2024. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aceh, sebagai salah satu daerah dengan sejarah politik yang dinamis dan kompleks, kembali memasuki fase krusial menuju Pilkada 2024.
Namun, di tengah optimisme masyarakat untuk pemilihan yang damai dan adil, bayangan gelap praktik kriminal dan kekerasan politik terus membayangi.
Iping Rahmat Saputra, seorang pengajar ilmu resolusi konflik, memberikan pandangannya yang tajam terkait fenomena ini.
Menurut Iping, Pilkada bukan sekadar pesta demokrasi, tetapi juga sering kali menjadi ajang pertarungan kekuasaan yang kotor, terutama di Aceh.
"Pilkada di Aceh sering kali diwarnai oleh praktik-praktik yang justru merugikan masyarakat. Pesta demokrasi yang seharusnya menjadi momentum perayaan partisipasi rakyat, justru kerap berubah menjadi arena kekerasan dan intimidasi," ungkapnya saat diwawancarai Dialeksis.com, Rabu (4/9/2024).
Iping menguraikan, Aceh baru melaksanakan Pilkada secara legal dan baik sejak 2006, namun sayangnya, sejarah pemilihan kepala daerah di wilayah ini tidak lepas dari berbagai insiden yang merugikan.
"Pesta demokrasi yang kita harapkan membawa dampak positif, sering kali malah berujung pada kerugian yang tidak pernah tergantikan," katanya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa kerugian akibat kekerasan politik tidak pernah benar-benar ditangani secara tuntas, baik dari segi hukum maupun pendekatan humanis.
"Contohnya, dalam banyak kasus kekerasan politik di Aceh, pihak yang dirugikan tidak pernah mendapat keadilan yang sebenarnya. Walaupun ada upaya ganti rugi, itu tidak bisa mengembalikan apa yang hilang. Kerugian tetap tidak tergantikan," tegas Iping.
Salah satu aspek yang menjadi perhatian Iping adalah bagaimana politik di Aceh sering kali didominasi oleh motif kekuasaan yang didorong oleh aktor-aktor politik yang kurang memahami konsep demokrasi dan keadilan.
"Motif kekuasaan ini sering kali bersembunyi di balik tindakan kriminalitas yang terorganisir. Ketika kekuasaan menjadi tujuan utama, berbagai cara ditempuh, termasuk yang merugikan orang lain. Ini adalah bagian dari kejahatan yang harus kita sadari," jelasnya.
Iping juga mencatat bahwa dalam setiap momen Pilkada, kekerasan dan kejahatan seolah menjadi kewajiban, sebuah fenomena yang ia sebut sebagai "pesta yang merugikan."
"Kita seperti sudah terbiasa melihat kekerasan sebagai bagian dari pesta politik. Seolah-olah tanpa kekerasan, pesta demokrasi ini cacat," tuturnya.
Ia mencontohkan insiden peledakan rumah salah satu calon kepala daerah yang baru-baru ini terjadi. Menurut Iping, kejadian tersebut bukan hal baru dalam sejarah politik Aceh, namun merupakan pengulangan dari peristiwa serupa yang terjadi di masa lalu.
"Peledakan rumah itu hanya salah satu bentuk 'gertakan' dalam politik. Tujuannya bisa bermacam-macam, dari melemahkan calon lawan hingga menaikkan pamor calon tertentu. Tapi yang pasti, ini adalah bentuk kriminalitas yang tidak bisa kita toleransi," tegasnya.
Iping juga mengkritik upaya deklarasi damai yang menurutnya hanya sebatas simbol tanpa realisasi nyata di lapangan.
"Deklarasi damai seharusnya diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan hanya sekadar simbol menerbangkan burung merpati. Sampai hari ini, saya belum melihat adanya bukti nyata dari deklarasi damai itu di Aceh. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, kekerasan terus berlanjut menjelang Pilkada," katanya.
Ia juga menyoroti kurangnya efek jera dari penegakan hukum di Aceh. Menurut Iping, banyak kasus kekerasan politik yang tidak pernah diungkap dengan tuntas, sehingga memberikan ruang bagi pelaku untuk terus melakukan kejahatan yang sama.
"Contohnya, kasus pelemparan granat dan penembakan yang terjadi di masa lalu, sampai hari ini tidak ada pengungkapan yang jelas. Ini menunjukkan bahwa hukum tidak berjalan dengan baik di Aceh," paparnya.
Ketika ditanya tentang solusi untuk menciptakan Pilkada yang benar-benar damai di Aceh, Iping menawarkan beberapa langkah konkret. Salah satunya adalah revitalisasi perilaku yang harus dimulai sejak dini.
"Revitalisasi perilaku harus dimulai dari lembaga pendidikan, dari anak-anak. Karena jika kita coba melakukannya pada orang yang sudah dewasa, itu seperti melempar bola ke tembok. Revitalisasi ini penting untuk mencegah munculnya pelaku-pelaku kekerasan di masa depan," sarannya.
Namun, ia juga mengakui bahwa langkah ini sulit dilakukan dalam waktu singkat, mengingat pelaku kekerasan politik saat ini adalah orang-orang yang sudah dewasa dan memiliki pengaruh kuat.
Oleh karena itu, penegakan hukum yang tegas dan transparan menjadi sangat penting.
"Hukum harus ditegakkan. Tapi bagaimana mungkin hukum bisa tegak jika penegak hukumnya sendiri yang meruntuhkan hukum itu? Ini yang harus kita perbaiki," tegasnya.
Iping menekankan pentingnya keterbukaan dalam penegakan hukum. Menurutnya, masyarakat berhak mengetahui siapa pelaku kekerasan politik dan apa hukuman yang mereka terima.
Iping berharap agar Pilkada 2024 di Aceh bisa menjadi momen perubahan, di mana pesta demokrasi benar-benar dirayakan dengan damai, tanpa kekerasan dan intimidasi.
Namun, untuk mencapai itu, diperlukan komitmen kuat dari semua pihak, terutama penegak hukum, untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan dengan sebenar-benarnya.
"Masyarakat sudah muak dengan kasus-kasus yang tidak pernah tuntas. Mereka berhak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Penegak hukum harus berani mengungkap siapa eksekutornya, siapa dalangnya, dan apa hukuman yang mereka terima. Ini penting untuk memberikan efek jera dan memastikan bahwa kejadian serupa tidak terulang lagi," pungkasnya. [nh]