Polemik Penjegalan Bustami-Fadhil, Usman Lamreung: Ini Soal Prosedur, Bukan Penghalangan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Pengamat politik Aceh, Usman Lamreung. Dokumen untuk dialeksis.com.
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tim pemenangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Bustami Hamzah dan Fadhil Rahmi, secara tegas menolak keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh yang menyatakan pasangan tersebut belum memenuhi syarat (BMS) untuk mengikuti Pilkada 2024.
Menurut pernyataan TM Nurlif, juru bicara tim pemenangan Bustami-Fadhil, mereka telah memenuhi seluruh dokumen persyaratan yang diwajibkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, penolakan ini tidak serta-merta mengakhiri polemik. Hingga saat ini, pasangan Bustami Hamzah dan Fadhil Rahmi belum menandatangani kesepakatan untuk menjalankan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan butir-butir kesepakatan dalam MoU Helsinki di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Proses ini, yang dianggap penting untuk menjaga kesinambungan perdamaian Aceh, masih harus diselesaikan sebelum pasangan ini bisa melaju ke tahap selanjutnya.
Pengamat politik Aceh, Usman Lamreung, menyoroti pentingnya mekanisme penandatanganan kesediaan menjalankan butir-butir MoU Helsinki dan UUPA.
Menurutnya, ini merupakan tahapan penting yang tidak boleh diabaikan, baik oleh pasangan Bustami-Fadhil maupun oleh pasangan lainnya.
Usman juga menekankan bahwa proses yang sama telah diberlakukan kepada pasangan Muzakir Manaf dan Fadhlullah, yang juga harus menandatangani kesediaan tersebut.
“Menjalankan UUPA dan MoU Helsinki adalah bagian integral dari Pilkada di Aceh. Ini bukan sekadar formalitas, tetapi bentuk komitmen dari setiap calon untuk menghormati kesepakatan damai dan kerangka pemerintahan khusus di Aceh. Jika pasangan Bustami-Fadhil belum melakukannya, ini bisa menjadi alasan kuat bagi KIP untuk menyatakan mereka belum memenuhi syarat,” ujar Usman Lamreung kepada Dialeksis.com, Minggu, 22 September 2024.
Menurutnya, baik Bustami-Fadhil maupun Muzakir Manaf-Fadhlullah, wajib menghormati seluruh mekanisme yang berlaku di DPR Aceh, termasuk proses penandatanganan kesediaan tersebut.
"Ini soal tanggung jawab politik dan moral, bukan hanya administratif,” tambahnya.
Lebih lanjut, Usman Lamreung menjelaskan bahwa tugas utama KIP Aceh dalam situasi ini adalah menyurati DPRA agar mengagendakan Rapat Badan Musyawarah (BanMus) untuk membahas kesediaan calon dalam menjalankan MoU Helsinki dan UUPA. Setelah itu, proses berlanjut sesuai aturan yang berlaku di DPRA.
“Mekanisme ini sudah jelas. KIP Aceh harus berkoordinasi dengan DPRA, dan DPRA akan menggelar BanMus untuk mengesahkan tanda tangan kesediaan tersebut. Ini sudah menjadi prosedur baku, dan tidak ada yang perlu diperdebatkan secara berlebihan,” katanya.
Namun, Usman juga menyoroti peran penting partai pendukung dalam memastikan mekanisme ini berjalan lancar.
Menurutnya, tugas partai pendukung adalah memastikan bahwa Rapat BanMus DPRA dapat digelar tepat waktu dan sesuai jadwal.
"Jangan sampai ada pihak yang melemparkan isu penjegalan jika partai pengusung sendiri belum menjalankan tugas mereka dengan baik. Ini bukan soal penghalangan, tetapi soal prosedur yang harus dihormati,” tegas Usman.
Sementara itu, dalam rilis resminya, TM Nurlif menegaskan bahwa tim Bustami-Fadhil telah memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan oleh KIP Aceh.
Ia juga mengkritisi apa yang disebutnya sebagai ‘upaya penjegalan’ terhadap pasangan yang mereka dukung.
Namun, pernyataan ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak, termasuk Usman Lamreung, yang menilai bahwa istilah penjegalan tidak relevan jika partai pengusung belum sepenuhnya memastikan mekanisme berjalan dengan benar.
“Jika partai pendukung Bustami-Fadhil belum memastikan Rapat BanMus berlangsung, maka tuduhan penjegalan menjadi tidak berdasar. KIP Aceh hanya menjalankan tugasnya sesuai peraturan, dan semua pihak harus patuh terhadap mekanisme yang sudah ada,” jelas Usman.
Pilkada di Aceh memiliki keunikan tersendiri, karena terkait erat dengan implementasi UUPA dan MoU Helsinki yang lahir dari proses perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Mekanisme ini tidak hanya sekadar syarat administratif, tetapi merupakan bentuk komitmen politik dari setiap pasangan calon untuk menghormati otonomi khusus yang dimiliki Aceh.
Menurut Usman Lamreung, hal ini harus dipandang sebagai tanggung jawab besar oleh setiap calon.
"Jangan sampai ada kesan bahwa komitmen terhadap MoU Helsinki dan UUPA hanya sekadar formalitas. Ini adalah landasan yang menjamin keberlanjutan perdamaian dan otonomi Aceh, dan setiap calon harus mematuhinya,” ujarnya.
Usman berharap bahwa baik KIP Aceh, DPRA, maupun partai pengusung dapat bekerja sama untuk menyelesaikan proses ini dengan baik.
"Pilkada Aceh 2024 bukan hanya soal kemenangan politik, tetapi juga tentang menjaga amanah perdamaian dan otonomi yang telah diraih dengan susah payah," pungkasnya. [nh]
- DPRA Dituding Gagalkan Bustami-Fadhil, Nasrul Zaman: Jangan Seolah-olah Terzalimi
- Usman Lamreung: Bustami Hamzah Harus Segera Ganti Cawagub atau Diskualifikasi
- SMuR Lhokseumawe: Polresta Banda Aceh Langgar Prosedur dalam Tes Urine Demonstran
- Menjaga Pilkada Aceh Tetap Damai, Tantangan Usai Ledakan di Rumah Kandidat Gubernur