DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dua aparatur sipil negara (ASN) ditangkap oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri karena diduga terlibat dalam jaringan terorisme.
Salah satu yang ditangkap, MZ (40), adalah ASN di lingkungan Kementerian Agama. Sementara ZA (47), diketahui merupakan pegawai Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh. Keduanya ditangkap di lokasi terpisah pada Selasa, 5 Agustus 2025, dalam operasi yang juga melibatkan penggeledahan terhadap barang bukti yang diduga berkaitan dengan aktivitas terorisme.
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Aceh, Andika Ichsan menyebut kasus ini sebagai pengkhianatan terhadap negara.
“Ini bukan lagi isu keamanan. Ini adalah pengkhianatan dari dalam. Bagaimana mungkin aparatur sipil yang digaji oleh rakyat justru terlibat dalam upaya merusak tatanan negar," tegas Andika kepada media dialeksis.com, Kamis (7//8/2025).
Dalam pandangan Andika, penangkapan dua ASN ini bukan hanya mencoreng citra institusi tempat mereka bekerja, tetapi juga menjadi alarm keras tentang betapa lemahnya sistem pengawasan internal birokrasi di Aceh.
“Mereka bukan warga marginal. Mereka bukan pengangguran yang disesatkan oleh propaganda. Mereka adalah bagian dari struktur formal negara. Maka pertanyaannya, siapa yang mengawasi mereka? Siapa yang lalai?," ujarnya.
Andika menyatakan bahwa selama ini, pendekatan terhadap paham radikalisme di tubuh ASN terlalu normatif dan seremonial.
Banyak instansi hanya menandatangani pakta integritas atau mengikuti seminar tanpa pengawasan ideologis yang mendalam.
Padahal, paham ekstrem bukan sekadar pernyataan, tetapi bisa tertanam diam-diam dalam narasi, kebijakan, bahkan rutinitas kerja sehari-hari.
“Nilai-nilai intoleran dan ideologi kekerasan tidak lagi bersembunyi di kamp-kamp pelatihan gelap. Mereka sudah duduk nyaman di balik meja kantor pemerintah,” ujarnya.
Andika mendorong agar Pemerintah Aceh tidak lagi menutup mata terhadap celah dalam sistem birokrasi yang bisa dimanfaatkan oleh simpatisan gerakan ekstremis.
“Sudah saatnya ada audit ideologi menyeluruh terhadap ASN. Penilaian integritas bukan hanya soal tidak korupsi, tapi juga tentang kesetiaan terhadap konstitusi dan nilai-nilai kebangsaan,” kata Andika.
Menurutnya, tugas mencegah radikalisme tidak boleh hanya dibebankan pada aparat keamanan seperti Densus 88. Institusi pendidikan, lembaga keagamaan, tokoh masyarakat, bahkan media, juga harus ambil bagian dalam menyaring dan menangkal penyebaran paham ekstrem di ruang-ruang publik.
“Ini tanggung jawab semua pihak. Kita tidak bisa membiarkan agenda radikal dibiayai oleh pajak rakyat,” tegasnya.
Sebagai daerah yang pernah mengalami konflik berkepanjangan dan kini hidup dalam kerangka damai hasil perjanjian Helsinki 2005, Andika menekankan pentingnya menjaga semangat kebersamaan dan toleransi di Aceh.
Radikalisme, menurutnya, bukan hanya ancaman terhadap keamanan, tapi juga terhadap masa depan anak-anak Aceh
“Aceh adalah tanah damai, hasil dari perjuangan panjang dan luka sejarah yang belum sepenuhnya sembuh. Jangan biarkan radikalisme kembali menabur benih kekerasan di tanah ini. Jika kita diam, maka kita ikut menyuburkan pengkhianatan itu," pungkasnya.[nh]