Rawan Disalahgunakan, Kejagung dan KPK Diminta Telusuri Penggunaan CSR BUMN di Aceh
Font: Ukuran: - +
Ketua DPW Aliansi Mahasiswa Anti Korupsi (Alamp Aksi) Aceh Mahmud Padang. Foto: for Dialeksis
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kewajiban Corporate Sosial Responsibility (CSR) perusahaan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang diatur melalui Undang-undang Perseroan Terbatas (PT) nomor 40 tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 2012. Hal itu juga berlaku bagi perusahaan BUMN, dimana setiap BUMN diwajibkan untuk mengalokasikan anggaran sebagai tanggung jawab sosial kepada masyarakat.
Namun, hal yang sangat miris tentunya jika alokasi anggaran CSR yang begitu besar di Aceh justru terindikasi berpotensi rawan digunakan untuk kepentingan pribadi pihak tertentu yang memiliki kekuasaan.
"Yang namanya anggaran CSR BUMN semestinya digunakan untuk masyarakat, namun jika itu digunakan untuk pribadi pihak tertentu dengan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi apakah itu untuk usaha pribadinya atau usaha keluarganya tentu itu tidak dibenarkan secara aturan. Untuk itu, kita meminta Kejaksaan Agung maupun KPK sebagai penegak hukum untuk menelusuri indikasi kemungkinan anggaran yang begitu besar ini disalahgunakan untuk kepentingan pribadi pihak tertentu," ungkap Ketua DPW Aliansi Mahasiswa Anti Korupsi (Alamp Aksi) Aceh Mahmud Padang, Minggu malam 28 April 2024.
Menurut Mahmud, selama ini belasan hingga puluhan BUMN beroperasi di Aceh semestinya jika anggaran CSR nya dipergunakan maksimal tentunya akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Kita meminta penegak hukum khususnya KPK dan Kejagung untuk dapat menelusuri aliran anggaran CSR di Aceh karena sangat rawan disalahgunakan oleh oknum tertentu yang memiliki kekuasaan, misalkan untuk membuka usaha atas nama masyarakat padahal secara riilnya usaha tersebut milik pribadi atau keluarga pejabat tertentu, ini perlu diselidiki lebih lanjut. Apalagi anggaran CSR itu sedikit lebih mudah dan sangat rawan untuk disalahgunakan," tegasnya.
Pihaknya juga mensinyalir adanya kemungkinan penarikan fee atau bahkan gratifikasi dalam penggunaan CSR BUMN yang dilakukan atas rekom atas usulan pihak tertentu yang memiliki kekuasaan untuk itu.
"Misalkan ada pembangunan rumah ibadah lalu ketika anggarannya turun dilakukan pengutipan sehingga uang yang semestinya diterima masyarakat tidak lagi utuh, itu tentunya tidak dibenarkan. Ataupun bisa saja alokasi anggaran yang diperuntukkan untuk pembukaan jalan dan sebagainya diberikan namun pihak yang menjadi perantara meminta imbalan tertentu berupa lahan dengan luar tertentu dan sebagainya," jelasnya.
KPK dan Kejagung juga perlu menelusuri adanya kemungkinan penggunaan CSR BUMN untuk kampanye pada Pemilu.
Dia menyebutkan, jika hal tersebut terjadi maka fungsi CSR BUMN yang semestinya diperuntukkan untuk rakyat justru dinikmati oleh rakyat.
"Anggaran besar dalam bentuk CSR BUMN merupakan tanggung jawab sosial sebuah perusahaan kepada masyarakat di sekitar perusahaan itu berada dan jumlahnya relatif besar. Untuk di Aceh, sudah menjadi perbincangan di masyarakat bahwa untuk mengakses anggaran CSR BUMN ini, masyarakat harus berdasarkan rekom pihak tertentu yang disebut-sebut orang dalam, ini harus dicek kenapa bisa demikian, apa ada permainan dan penyalahgunaan.
Selama ini, lanjut Mahmud, kurangnya transparan ke publik besaran hingga alirannya untuk apa saja penggunaan CSR ini membuka peluang terjadinya korupsi dan penyalahgunaan.
“Jangan sampai ada pula yang punya kavling-kavling dan quota untuk penggunaan CSR yang digunakan untuk kepentingan pribadi dan bahkan memperkaya diri. KPK atau Kejagung kita harapkan dapat menelusuri peruntukannya agar CSR BUMN di Aceh terbebas dari praktek korupsi," tutupnya. (*)